Fathimah al-Zahra RA. yang menyaksikan peristiwa itu, segera membuang pasir tersebut. Kemudian membersihkan sisa debu yang melekat pada rambutnya. Ia lakukan semua itu seraya menitikkan air mata. Terang saja Rasulullah SAW. sangat iba sehingga kemudian beliau menghiburnya, "La tabki ya bunayyah ! Fa innallaha mani` abaki" (Jangan menangis wahai anakku! Sesungguhnya Allah akan menjaga keselamatan ayahmu).
Beliau lantas menjelaskan faktor penyebab mereka berani berbuat jahil seperti itu, "Ma nalat minni quraisy syaian ukrihuhu, hatta mata Abu Thalib" (Selama ini mereka tidak pernah menyentuh ayah, dengan cara yang ayah sendiri tidak menyukainya, kecuali setelah Abu Thalib meninggal dunia).
Untuk menghindari tindakan yang lebih buruk, selain bagi kepentingan dakwah, Rasulullah SAW. akhirnya pergi meninggalkan Mekah menuju Thaif (kota yang berjarak sekitar 75 mil ke sebelah tenggara).
Mengapa Thaif yang dipilih ? Sesungguhnya tidak heran, karena di sana masih terdapat kerabat beliau dari pihak ibu. Lagi pula, bukankah pada usia paling dini beliau disusui dan diasuh Halimah, seorang wanita dari Bani Sa’ad ? Sementara secara geografis, permukiman mereka sangat dekat dengan Thaif.
Setibanya di sana Rasulullah SAW. segera menemui beberapa pemuka Bani Tsaqif. Kepada mereka dijelaskan maksud kedatangannya. Seraya mengajak mereka menyembah Allah SWT., dengan meninggalkan sembahan yang lainnya.
Reaksinya sungguh di luar dugaan. Rasulullah SAW. sendiri sedikit kaget. Mereka merespons dakwah itu dengan ucapan dan perbuatan yang amat kasar. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. kemudian pergi tatkala mereka masih marah-marah.
Namun, kepergian beliau tidak serta-merta menghentikan kejahilan mereka. Justru kebiadaban mereka semakin menjadi-jadi. Mereka kemudian memobilisasi orang-orang pandir, budak belian, dan manusia sejenisnya, untuk mengolok-olok, memaki dan melempari Rasulullah SAW. dengan batu. Lantaran perbuatan mereka itu, kaki Rasulullah SAW. mengalami luka-luka. Bahkan, kepala Zaid bin Haritsah, sahabat yang menyertainya saat itu, mengeluarkan darah pula. Zaid waktu itu menjadi tameng hidup Rasulullah SAW.
Kebiadaban itu terus berlanjut hingga lewat batas kota. Baru kala sampai di kebun kurma milik Utbah bin Rabiah, mereka bubar. Di sana Rasulullah SAW. dan sahabatnya rehat sejenak, untuk membersihkan luka di kakinya.
Ketika itu pula Rasulullah SAW. mengadukan perbuatan kaumnya kepada Allah SWT. "Ya Rabbi, kepada-Mu kuadukan kekurangan tenaga dan kelemahan kesanggupan dalam menghadapi manusia kafir. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang. Engkau Tuhan kaum tertindas dan Tuhanku juga. Kepada siapa akan Kau-serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh (bukan kerabat) yang berwajah masam, atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku ? Bagiku semua itu tak peduli, selama Engkau tidak murka kepadaku. Namun, bagiku anugerah-Mu sangatlah luas."
Tidak lama kemudian datanglah dua Malaikat, Jibril dan Pemelihara Gunung. Jibril berkata, "Ya Rasulullah, Allah mendengar doamu. Bersamaku Dia mengutus Malaikat Penjaga Gunung, untuk mematuhi segala perintahmu." "Betul, wahai kekasih Allah !" Malaikat itu mengiyakan Jibril. "Aku diperintah untuk mematuhi segala kehendakmu. Apakah engkau ingin supaya aku mencabut sebuah gunung, lalu kujatuhkan di atas kepala mereka? Akan kulakukan itu !" ujar malaikat.
Bayangkan ! Bagaimana kalau kita berada pada posisi seperti Nabi SAW. lantas datang tawaran seperti itu ? Perintah apa gerangan yang akan kita berikan ?
Rasulullah SAW. kala itu menjawab, "Tidak ! Bukan itu yang aku inginkan. Aku malahan berharap semoga dari mereka lahir generasi penyembah Allah SWT. Jika betul Anda mau membantuku dalam urusan ini, tolong amini doaku ini, ’Allahumma ihdi qawmi, fainnahum la ya ’lamun (Ya Allah, tunjukkan pada kaumku itu jalan kebenaran. Sesungguhnya mereka belum mengerti) !"
Keterangan di atas mengantar pada kesimpulan bahwa Rasulullah SAW. adalah seorang pemaaf, bukan pendendam. Rasulullah SAW. bahkan bukan sekadar pemaaf, melainkan seorang penganjur agar umatnya pandai-pandai memaafkan. Sebab, sekali orang menjadi pendendam, selama hidupnya tidak akan bahagia.***
[Ditulis Oleh A. HAJAR SANUSI, tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 2 September 2010 pada kolom "KISAH RAMADAN"]
0 comments:
Post a Comment