Apabila kita menyaksikan televisi, khususnya infotainment, akan dengan mudah menyaksikan kasus-kasus talak (perceraian) di antara selebriti. Ada kesan bahwa Islam dengan mudah menghalalkan perceraian, berbeda dengan agama lain yang malah mengharamkan perceraian.
Perlu diketahui, hidup berumah tangga laksana episode kehidupan dunia lainnya, tak selamanya dihiasi dengan senyum, bahagia, atau suka. Sering terjadi sebaliknya ketika bahtera rumah tangga dihantam gelombang sehingga terjadi konflik, percekcokan, adu mulut, bahkan kekerasan fisik antara suami dan istri.
Pernikahan hendaknya diniatkan untuk bisa langgeng selamanya, sepanjang hidup di alam fana ini dalam naungan rahmat Allah SWT. Rencana dan niat untuk menceraikan istri pada saat pernikahan adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran Islam.
Islam sangat menekankan pentingnya melestarikan dan melanggengkan pernikahan. Islam mengajarkan agar segala macam usaha dan langkah preventif harus ditegakkan agar bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah. Namun, ketika ada persoalan yang tak bisa ditoleransi atau terjadi puncak konflik rumah tangga, Islam juga memberikan pintu darurat bernama talak atau perceraian.
Jalan perceraian yang diatur Islam bukanlah untuk menambah kesengsaraan dan kepahitan hidup, tetapi ikhtiar untuk menghindarkan diri dari kehancuran total dan kesengsaraan berlarut-larut. Oleh karena itu, media perceraian hanya boleh diakses setelah yang bersangkutan berusaha melakukan berbagai langkah, seperti nasihat, mengangkat dua hakim dari keluarga suami dan istri, pisah ranjang, sanksi nafkah, dan lain-lain.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa : 11)
يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An Nisaa : 28)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An Nisaa : 34)
نْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An Nisaa : 35)
Sungguh tepat nasihat yang menyatakan,
Kalau Anda berpikir sepuluh kali untuk menikah, maka berpikirlah seribu kali untuk bercerai.
Allah SWT. tidak senang bahkan murka kepada seseorang suami yang dengan mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya. Setiap perceraian hampir pasti melahirkan berbagai kemudaratan (kesengsaraan), berupa putusnya tali silaturahmi antara dua keluarga, penderitaan bagi kaum wanita, telantarnya anak-anak, penderitaan batin bagi lelaki, dan lain-lain.
Islam tidak hanya membuat aturan yang ketat tentang kemungkinan terjadinya talak, melainkan juga memberikan pintu bagi terjadinya rujuk.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaaq : 4)
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzaab : 49)
Hal itu sejalan dengan semangat ajaran Islam bahwa pada dasarnya pernikahan adalah untuk selama-lamanya dan tidak diakhiri dengan perceraian.
Untuk menghindari adanya perceraian, hendaknya sebelum melangsungkan pernikahan harus mempertimbangkan secara mendalam baik melalui musyawarah maupun shalat istikharah mengenai kecocokan hidup sebagai pasangan suami dan istri. Ajaran agama harus menjadi dorongan sekaligus membentengi keutuhan keluarga.
Pasangan calon suami dan istri harus meniatkan diri membangun keluarga atas dasar ibadah. Pernikahan bukan untuk melampiaskan nafsu seks, bersenang-senang, mencari harta warisan, apalagi untuk menyakiti pasangan hidupnya.
Selain bagian dari ibadah, pernikahan juga hendaknya diposisikan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak. Apabila kita tidak melaksanakan amanah, bisa dinilai sebagai perbuatan khianat yang dapat mendatangkan murka Allah.
Nabi Muhammad sendiri menegaskan, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik kepada istrinya. Pernyataan ini memberikan gambaran dan pelajaran kepada setiap Muslim maupun Muslimah mengenai indikator kesalehan, ketakwaan, dan keimanan seseorang ketika bisa berbuat terbaik kepada pasangannya.
Nabi sendiri memberikan teladan yang sangat indah. Dalam keadaan dan posisi apa pun, Nabi selalu menampilkan diri sebagai suami dan ayah yang baik. Tugas dan kewajiban Nabi sebagai pemimpin, pendakwah, panglima, pedagang, dan lain-lain senantiasa tidak mengurangi kesungguhannya sebagai suami dan ayah yang baik.
Ajaran yang selalu ditekankan Nabi kepada umatnya, salah satunya adalah pembinaan keluarga; berarti awal kesuksesan pembangunan di masyarakat. Perhatian Islam akan pentingnya pembangunan sebuah masyarakat yang baik dan negara yang bermutu serta dipenuhi ampunan Allah (baldatun thayyibatun warabbun ghofur), tidak akan bisa dilaksanakan apabila tidak menyentuh pembinaan di setiap keluarga.
Pembentukan generasi yang saleh dan salehah, cerdas, kreatif, dan mandiri, juga tak bisa dilepaskan dari upaya membentuk keluarga yang berkualitas (hasanah thayyibah). Semua itu bermula dari penegakkan nilai-nilai agama yang akan berdampak kepada upaya mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah.***
[Ditulis oleh KH. MIFTAH FARIDL, Ketua Umum MUI. Kota Bandung, Ketua Yayasan Unisba dan Ad-Dakwah, juga Pembimbing Haji Plus dan Umrah Safari Suci. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Wage) 26 Mei 2011 pada Kolom "CIKARACAK"]
by
0 comments:
Post a Comment