Sebentar lagi, anak-anak kita yang duduk di SMA akan masuk perguruan tinggi. Disusul oleh adik kelasnya, lulusan SMP, SD, dan TK akan masuk ke jenjang berikutnya. Doa kita untuk mereka, semoga menjadi orang yang tidak hanya cerdas, tetapi juga sehat lahir batin dan mulia akhlaknya. Anak seperti ini digambarkan dalam Al-Quran sebagai perhiasan dunia (QS. Al-Kahfi : 46), yang bakal membahagiakan kedua orang tuanya, dan tentu, membanggakan negara dan bangsa. Generasi inilah yang kelak akan menjadi pewaris (pemimpin) di muka bumi (QS. Al-Anbiya : 105). Amin !
Namun demikian, melahirkan anak yang qurrota a'yun (indah dipandang mata) agar menjadi imamnya orang-orang muttaqin, seperti doa kita kepada Allah SWT. (QS. Al-Furqon :74), memang tidak mudah. Mendidik tidak bisa sambilan, iseng-iseng, atau dengan waktu sisa habis kerja, dan pasti tidak cukup dipercayakan hanya kepada para guru di sekolah atau para pembantu di rumah. Penanganannya perlu waktu leluasa, sungguh-sungguh, dengan metode yang tepat, ulet, sabar, penuh perhatian, dan pengertian.
Kenapa harus begitu ? Rasulullah SAW. bersabda, "Anak-anakmu lahir bukan pada zamanmu !" Ya, mereka tidak sezaman dengan kita. Problema yang dihadapi mereka jauh lebih berat. Wajar kalau dulu kita lebih "shaleh" daripada mereka karena sangat kecil godaannya. Kita hidup di era agraris (masyarakat tani). Anak-anak kita lahir di abad teknologi informasi. Yang hidup di era pertanian dalam beberapa hal banyak diuntungkan. Pertama, masyarakat tani umumnya dekat dengan alam, bekerja di alam terbuka, tentu lebih sehat, suasana kerja santai tidak diburu waktu, lelah habis kerja langsung tidur, bangun tidur badan segar. Kedua, budaya gotong royong dan tolong-menolong masih kuat. Ketiga, komunikasi dengan anggota keluarga lebih intensif karena ayah ibu kerja di rumah. Pengawasan lebih mudah. Keempat, suasana keagamaan masih kental. Habis Maghrib sampai tiba waktu shalat Isya, diisi dengan mengaji dan taklim lainnya. Kelima, produk teknologi informasi seperti pesawat televisi, video, internet, HP, dan lain-lain belum ada (sekarang sudah sampai ke pelosok desa). Keenam, penetrasi budaya dalam wujud pengajian, kultur akikahan dengan marhabaan, yasinan,doa bersama, dan lain-lain masih kuat.
Berbeda dengan masyarakat industri. Sebagian kenikmatan suasana alam pertanian, nyaris hilang (walaupun masih ada). Nah, anak-anak kita lahir di era ini. Keadaan alam, budaya, dan lingkungan pergaulannya pasti berbeda dengan dulu. "Wajar" kalau gaya bicara, model pakaian, dan tingkah lakunya sama seperti umumnya para remaja di luar negeri. Dr. Ziauddin Sardar, seorang futurolog muslim mengatakan bahwa ditemukannya microchip yang memungkinkan diperolehnya informasi dengan sentuhan sebuah tombol. Makin kecil chip, justru makin besar daya kekuatan yang dikandungnya. Rasulullah SAW. bersabda, "Perintahkan anakmu shalat jika telah berumur tujuh tahun. Hardiklah (pukul) jika sepuluh tahun belum mau shalat. Dan pisahkan tempat tidurnya dari tempat tidurmu." (HR. Mutafaq Alaih)
Dengan kemampuan materi yang memadai, kita bisa memberi mereka kamar tidur masing-masing. Namun, apa artinya dipisahkan tempat tidurnya dengan kita, kalau di kamarnya bisa leluasa menonton siaran televisi, video, internet dan lain-lain, yang mungkin tontonan itu bisa merusak perkembangan jiwanya. Produk teknologi informasi itu sangat besar manfaatnya karena membuat hidup kita jadi lebih mudah, wawasan dan pengetahuan kitapun bertambah, dengan tidak harus diperoleh lewat sekolah. Akan tetapi, kalau salah memanfaatkannya dan orang tuanya tidak punya waktu cukup untuk mendampingi mereka, tidak mustahil, justru akan sebaliknya, menjadi bencana. Dengan kecanggihan teknologi informasi, dalam waktu sekejap -(seperti anak buah Nabi Sulaiman AS. memindahkan singgasana Ratu Balqis ke hadapannya, QS. An-Naml : 40)- anak-anak bisa memindahkan pentas dunia ke kamar tidurnya.
Para orang tua akan kecewa kalau punya anggapan bahwa hanya dengan memenuhi segala kebutuhan materi saja mereka akan menjadi baik. Uang yang banyak, fasilitas hidupnya lengkap, handphone, mobil, rumah, sekolah yang mahal, pakaian serba luar negeri tidak jaminan kalau kita lengah. Mereka tidak hanya butuh uang, tetapi butuh pengertian dan perhatian. Mereka ingin dipahami dan dimengerti oleh kita.
Adalah Neil Kauffman, penulis buku "Son Rise", bersama istrinya sungguh-sungguh memberikan perhatian kepada anak mereka yang autis. Dokter menyatakan bahwa anak itu hopeless, tidak ada harapan untuk sembuh. Namun, berkat kegigihan mereka berdua, lebih dari itu. Neil Kauffman rela berhenti bekerja agar bisa penuh memberi perhatian pada anaknya, anaknya sembuh total. Kini anak autis itu telah menjadi arsitek terkenal di NewYork. (Al-Tanwir, edisi 30 Juli 2005)
Rachel Dretsin Goodman, produser serial tentang "Lost Children of Rockdale County", menyimpulkan bahwa sifilis (penyakit kotor akibat hubungan seks bebas) banyak menimpa anak-anak remaja yang terapung-apung karena mereka hampa, lapar belaian kasih orang tua, banyak kekosongan waktu luang, dan hidup tidak teratur. Kemudian Michael Resnick, profesor sosiologi dan pediatrik di Universitas Minnesota, berkomentar bahwa kejadian buruk yang menimpa anak-anak remaja itu akibat kehampaan. Rumah mereka hampa dari pengawasan, hampa dari kehadiran orang dewasa, hampa dari pengamatan. Pada banyak remaja, ada perasaan tidak dibutuhkan, tidak bersambung dengan orang tua yang hanya melulu memikirkan mereka sendiri.
Pertanyaan buat kita, dari 24 jam waktu yang kita miliki, berapa jam kita sisihkan untuk mendampingi mereka ? Kepada siapa anak-anak mengadukan persoalan mereka kalau mereka punya masalah, kepada temannya atau kepada kita ? Makanan / minuman yang baik dan halalkah yang diberikan kepada mereka ? (Baik untuk kecerdasan, halal untuk kesalehan akhlak mereka). Waktu maghrib, yang seharusnya sudah ada di rumah, kalau sampai larut malam mereka belum tiba, apakah kita merasa kehilangan atau biasa-biasa saja ? Pada sepettiga akhir malam, seringkah kita bangun, kemudian shalat dan berdoa agar mereka menjadi anak yang saleh ?
Rasulullah SAW. yang sibuk luar biasa, tetap hangat dengan keluarganya. Siti Fathimah Az-Zahra, belahan hatinya, sering diajak bermain, dikecup keningnya. Di depan pembesar Ouraisy, Nabi secara demonstratif mencium tangan Siti Fathimah radiyailahu anha. Cucu Rasulullah SAW., Hasan dan Husain, putra Fathimah dan Ali RA., sering duduk di pangkuan Rasul atau bergelayut ke punggungnya, padahal beliau sedang shalat. Rasulullah SAW. tidak menghardiknya, apalagi memarahinya. Kedua cucu belahan jantung hatinya ini, beliau pangku kemudian dipindahkan ke sampingnya.
Wallahu A'lam Bish-Shawab.
[Ditulis oleh Drs. KH. Muhtar Gandaatmaja MD, Ketua Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Al-Hijaz, Ketua Forum Silaturahmi KBIH Kota Bandung, dan Dosen Agama UNPAD Bandung]
0 comments:
Post a Comment