Dibandingkan dengan makhluk-Nya, yaitu jin, setan, malaikat, flora, dan fauna, manusialah yang paling banyak menerima anugerah Allah SWT. Dipercaya sebagai 'abid (penyembah) dan khalifah (pemimpin) di muka bumi. Dianugerahi akal pikiran, perawakan yang indah, dan diberi-Nya kemampuan bicara. Sementara bicara merupakan anugerah Allah yang amat penting tetapi mudah, apalagi kalau asal bicara. Siapa pun bisa bicara. Anak-anak atau orang dewasa, yang berpendidikan tinggi atau rendah, pejabat atau rakyat biasa, orang kota atau orang desa, yang miskin atau yang kaya, anak jalanan atau anak gedongan, semuanya bisa bicara.
Namun demikian, bicara yang baik dan benar tentu ada kaidah-kaidahnya. Selain harus memperhatikan segi etika dan estetikanya, juga jangan mengabaikan taktik dan strateginya. Menurut para ahli ilmu pidato, hal semacam ini merupakan bagian dari ilmu retorika. Sementara retorika bersumber dari perkataan latin rethorica, yang berarti ilmu bicara. Encyclopedia Britanica menyebut sebagai seni menggunakan bahasa, yang dengan cara itu dapat menghasilkan kesan diinginkan terhadap pendengar atau pembaca (1988 : 78). Hal senada tertulis dalam American Encyclopedia, "Rhetorica inclusive in the widest use of the term, the art oforatory whether written or spoken." (1989 : 6). Di Amerika, ilmu ini lazim disebut public speaking.
Di pesantren, pada malam-malam tertentu, para santri dengan bimbingan seniornya secara teratur sudah biasa mengadakan acara praktik berpidato (mereka menyebutnya muhadloroh), di depan teman-temannya. Begitu pula para pelajar dan mahasiswa aktivis kampus dalam kegiatan ekstra kurikulernya berlatih pidato, memimpin diskusi, dan persidangan. Tujuannya, jika nanti jadi pendidik, pendakwah, politisi, pimpinan ormas, lembaga eksekutif / legislatif atau kepala rumah tangga sekalipun, selain mampu mengurusi organisasi, bisa juga berkomunikasi dengan baik, berkata yang bermanfaat, bermartabat, dan membuat orang selamat.
Ke arah sana Allah mengajari kita berbicara, yang di dalamnya ada muatan hukum dan moral. Rasullah SAW. pernah bersabda tentang seseorang tukang ibadah, tetapi bermulut busuk. "Dia masuk neraka jahanam !" sabdanya. Sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, bukankah dia tukang ibadah ?" Rasulullah menjawab, "Benar ! Akan tetapi, tetangganya tak nyaman karena mulutnya."
Dalam ibadah haji, pembicaraan yang baik menjadi salah satu indikasi kemabruran haji seseorang. Rasul SAW. ditanya para sahabat, "Apa itu haji mabrur ya Rasulullah ?" Jawabnya, "Ith'amuth tho'am wa thoyyibul kalam." Artinya, memberi makan (fakir miskin) dan bicara yang baik. Dalam hadis lain disebutkan, ternyata bicara pun menjadi tanda iman tidaknya seseorang. "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakan tetangganya dan muliakan tamunya, serta bicaralah yang baik atau (kalau tidak bisa lebih baik) diam." (HR. Turmudzi)
Bicara itu bisa menyelamatkan dan menyelakakan. Nabi SAW. bersabda, "Salamatul insan fii hifzhil lisan" (Selamat insan sebab terpelihara lisan). Sebelum mendatangi Firaun, agar bicaranya lancar dan aman, terlebih dahulu Nabi Musa AS. berdoa, mohon pertolongan Allah, karena beliau paham betul risikonya kalau salah bicara. Doanya seperti ini, "Ya Allah, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskan kekakuan lisanku agar mereka memahami ucapanku." (QS. Toha : 25-28)
Sedekah dalam Islam merupakan kebajikan yang besar pahalanya. Para dermawan dijanjikan Nabi sebagai orang yang akan mendapat keuntungan, yaitu bisa menolak bencana, bertambahnya rezeki, panjang umur, dapat menghapus dosa, dan mencegah kejahatan. Namun, dalam hal lain bahwa bicara yang baik lebih baik daripada sedekah. "Ucapan yang baik dan pemaaf lebih baik daripada sedekah, yang disertai menyebut-nyebutnya dan Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun." (QS. Al-Baqoroh : 263)
Allah mengajari kita agar bicara dengan benar (QS. Annisa : 9), bisa menggugah hati (QS. Annisa : 63) dengan cara lemah lembut (QS. Thoha : 44), mengandung perkataan mulia (QS. Al-Isro : 23), berisi kata-kata yang baik (QS. An-Nisa : 5), dan bicara dengan tidak mengabaikan unsur kepantasan. Pantas menurut akhlak atau pantas menurut norma adat (QS. Al-Isro : 28). Tidak bicara yang jorok dan kotor, mengandung dosa, dan tidak berdebat kusir dengan cara yang tidak sehat (QS. Al-Baqoroh : 197). Dalam Al-Quran Surat Lukman ayat 19, Allah menyindir orang yang berbicaranya mengabaikan norma dan aturan, kemudian digambarkan seperti himar atau keledai. Orang Arab akan tersinggung berat, jika disebut keledai atau himar.
Dengan indah dan mulia Allah memberi tuntunan dengan santun, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik..." (QS. An-Nahl : 125)
Kebanyakan mufasir menjelaskan hikmah dan pelajaran yang baik, sebagai perbuatan dan ucapan yang mendidik, bijaksana, dan santun, sebagai hasil dari ketinggian ilmunya. Tidak garang, kasar, emosional, dan tidak asal dapat menjatuhkan lawan. Mestinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin luhur pula budi pekertinya. Kerendahan hati dan kesantunan pembicaraannya, sebagai cerminan dari strata pendidikannya. Bukankah ada pendapat yang mengatakan, "Anda ingin tahu apakah dia seorang yang terpelajar atau kurang ajar, lihatlah isi dan cara bicaranya."
Ironi memang. Kini, sebagian dari mereka yang rata-rata lulusan perguruan tinggi terkenal, baik dari dalam maupun lulusan dari luar negeri, ditambah posisinya berada pada kedudukan yang terhormat sebagai pejabat penting, tetapi sayang kadang-kadang cara dan isi bicaranya tidak mencerminkan sebagai orang yang terdidik dengan baik.
Wallahualam!***
[Ditulis oleh H. MUHTAR GANDAATMAJA, Ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al-hijaz dan Ketua FKKBIH Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 18 Juni 2010 dari Kolom "RENUNGAN JUMAT"]
0 comments:
Post a Comment