PENDIDIKAN DAN DOA

Apa hubungannya keberhasilan pendidikan dengan doa ? Bukankah pendidikan lebih ditentukan oleh kualitas guru dan siswa, sarana dan prasarana pembelajaran, ataupun kualitas prosesnya ?

Sesungguhnya, doa memiliki peran strategis dalam mendukung keberhasilan pendidikan, terutama untuk pendidikan karakter. Adagium bijak menyatakan, "Siapa menanam pikiran akan menabur perkataan. Siapa menabur perkataan akan menuai perbuatan. Siapa menabur perbuatan akan memanen kebiasaan. Siapa menanam kebiasaan akan memanen karakter. Siapa menabur karakter akan menuai cita-cita." (Stephen R. Covey)

Pembinaan dan pengembangan karakter mutlak dimulai dengan bermohon kepada Allah agar memberikan taufik, hidayah, dan lindungan-Nya. Bukankah Nabi Muhammad SAW. sendiri menyatakan tak bisa memberikan hidayah karena Allah lah yang memiliki kekuasaan prerogatif atas hidayah tersebut.

Pemberdayaan karakter anak didik harus diyakini sebagai kewajiban untuk menyeru kebajikan dan sebagai jalan ibadah kepada Allah. Apa pun kendala dalam mendidik siswa, Allah merestui dan memberikan bantuan-Nya sehingga proses belajar dan mengajar akan menjadi mudah dan berhasil sesuai dengan harapan.

Berusaha maksimal dalam mendidik siswa seharusnya dilandasi dengan keikhlasan dan kesabaran yang dibarengi dengan takarub (pendekatan) kepada Allah SWT. Caranya, bisa melalui pembiasaan shalat berjemaah, zikir, tahajud, puasa sunah, maupun membaca Al-Quran. Tentu jangan lupakan pula keteladanan melalui kesalehan sosial.

Apabila guru hanya menilai kinerjanya dari urusan materi, seperti mencari gaji dan kekayaan, hal tersebut akan melunturkan nilai-nilai pendidikan, bahkan merusak citra dan kemuliaan guru sebagai seorang Muslim/Muslimah. Apalagi, tugas seorang guru amat mulia dengan kedudukannya setara rasul. "Adapun syarat bagi seorang guru, ia layak menjadi ganti Rasulullah karena dia sebenar-benarnya alim (berilmu). Akan tetapi, tidak pula tiap-tiap orang alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah." (Al Ghazali)

Keteladanan merupakan kata kunci dalam pendidikan. Guru harus bisa menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Imam Al Ghazali berkata, "Seorang guru itu harus mengamalkan ilmu lalu perkataannya. Karena sesungguhnya, ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang memilili mata kepala jumlahnya lebih banyak."

Ulama terkenal Abdurrahman An Nahlawi mengemukakan hikmah pendidikan yang disertai dengan ibadah karena dalain konsep Islam, melalui ibadah seorang manusia diajar memiliki intensitas kesadaran berpikir. Tentu setiap ibadah termasuk dalam mendidik siswa akan diterima apabila dilandasi 2 (dua) hal, yakni keikhlasan dan ketaatan kepada Allah, dan pelaksanaan ketaatan sesuai dengan cara-cara Rasulullah.

Sayyid Quthub dalam "Manhaj At Tarbiyah al Islamiyah" mengemukakan pentingnya pendidikan berdasarkan ibadah karena dapat membekali manusia dengan muatan yang intensitasnya tinggi dan abadi yang bersumber dari Allah. Dari pendidikan yang dilandasi ibadah akan menghasilan 3 (tiga) karakter manusia.
  1. Religius skill people, yakni insan yang terampil sekaligus memiliki keimanan teguh dan utuh. Lulusan pendidikan seperti ini akan mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk di era globalisasi saat ini.
  2. Religius community leader, yakni insan yang menjadi penggerak dinamika transformasi sosial dan kultural masyarakat. Dia juga menjadi penjaga gawang dan penyeleksi terhadap efek-efek negatif proses pembangunan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
  3. Religius intellectual, yaitu insan yang memiliki integritas, istiqamah, cakap melakukan analisis, dan komitmen tinggi terhadap penyelesaian masalah-masalah di masyarakat.
Hanya, apabila kita melihat kondisi pendidikan Indonesia membuat kita miris. Akankah pendidikan karakter yang diawali dengan ibadah bisa terwujud ? Guru sebagai pemegang kunci pendidikan saat ini hanya mengangkat topik-topik yang sudah ada di kurikulum, bahkan sebatas menjabarkan isi buku teks.

Keberhasilan pembelajaran diukur sebatas daya serap siswa, yaitu kemampuan menghimpun pengetahuan secara minimal. Pada akhirnya evaluasi pembelajaran juga ditekankan kepada aspek pengetahuan, malah dibatasi dalam kerangka Ujian Nasional (UN) beberapa mata pelajaran. Di lain pihak, untuk memberdayakan guru agar bisa bersifat humanis dan islami perlu dukungan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan. Guru tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi tanpa adanya dukungan dari pemerintah, sekolah, orang tua, maupun lingkungan sekitar.

Semoga pendidikan karakter yang dimulai dari niat mendidik sebagai jalan ibadah dapat terwujud. Kita masih optimistis adanya kebijakan nasional bidang pendidikan yang lebih membebaskan dan mencerahkan.***

[Ditulis oleh H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Kamis (Pon) 24 Juni 2010 pada kolom "CIKARAKCAK"]

0 comments: