TELINGA YANG SABAR MENDENGAR

Seorang ayah mengajak anaknya yang baru saja diwisuda dari perguruan tinggi ternama, duduk-duduk di perkarangan rumahnya sambil mengamati burung-burung yang hinggap di pohon. Si anak yang berhasil meraih gelar cum laude (sangat memuaskan) terus bercerita tentang keberhasilannya dan rencana-rencananya setelah diwisuda. Sang ayah dengan tekun mendengarkan cerita dan aspirasi anaknya ini dengan penuh haru dan bangga. Hingga tiba-tiba si anak berhenti bercerita karena melihat seekor burung gereja hinggap di dahan pohon yang ada dekat mereka sambil berkicau.

Sang ayah lalu bertanya pada si anak, "Nak, it apa ?" Si anak menjawab kaget, "Masa ayah tidak tahu, itukan burung gereja !"

Lalu mereka mengobrol lagi, sementara burung gereja itu masih ada di sana. Di tengah perbincangan sang ayah bertanya lagi, "Nak, itu burung apa sih ?" Si anak kembali menjawab, "Itu burung gereja, Yah" Perbincangan dilanjutkan lagi dan si ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Sia anak mulai kesal dan jawabannya hanya 2 kata saja, "Burung Gereja !"

Hingga hari semakin sore dan untuk terakhir kalinya sang ayah bertanya kepada anaknya, "Nak, apakah betul itu burung gereja ?" Maka dengan kesal dan geram si anak berkata kepada ayahnya, "Masa ayah tidak tahu kalau itu burung gereja, dari tadi saya sudah katakan bahwa itu burung gereja. Ayah ini bodoh atau pura-pura bodoh !"

Mendengar jawaban itu sang ayah tersenyum sambil masuk ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu. Sang anak yang tadinya bangga menceritakan dirinya, terpekur dengan muka kesal memandangi ayahnya yang masuk ke dalam rumah.

Selang beberapa menit, sang ayah keluar dengan membawa buku diary (catatan harian) yang sudah kotor dan lusuh. Dia menunjukkan sebuah catatan pribadinya kepada anaknya ini, yang dicatat kira-kira 17 tahun yang lalu, ketika anaknya berumur 4-5 tahun. Pada salah satu halamannya terdapat tulisan tangan ayahnya yang menceritakan sebuah kisah.

"Ketika itu, aku dan Calvin anakku yang menginjak usia 5 tahun sedang duduk-duduk di beranda gubuk kami. Sewaktu aku bercerita tentang pohon, tiba-tiba ada seekor burung gereja hinggap di dahan pohon tersebut. Calvin bertanya apakah yang hinggap di pohon itu, dan akupun menjawabnya bahwa itu burung. Kemudian dia bertanya lagi burung apa, kujelaskan itu burung gereja. Calvin terus bertanya tentang rumah burung, makanannya, ibunya burung, dan sebagainya."

"Tidak jarang dia bertanya berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama. Terbersit dalam hati kejengkelan, namun tetap kutahan karena disinilah aku mengerti diriku dan berusaha terus menerus mengasihi anakku."

Penggalan tulisan harian sang ayah ini membuat sang anak yang duduk di sampingnya menitikan air mata, karena Calvin itu adalah dirinya sendiri.

Sang anak mendapat hikmah yang luar biasa, bahwa ilmu dan predikat yang disandang sebenarnya tidak memiliki arti apa-apa, jika tidak diwarnai oleh kesabaran dan kerendahan hati. Telinga yang sabar mendengar, akan mampu melatih setiap orang untuk bersabar dan tangguh dalam menghadapi pergumulan hidup. Dalam keluarga, apakah yang diinginkan anak-anak dari orang tuanya ? Tidak lain adalah kehadiran dan kesediaan mereka untuk mendengar. Hadiah-hadiah yang diberikan kepada anak kita tidak menjamin mereka memiliki mental yang tangguh dan keleluasaan dalam bergaul untuk menapaki masa depan mereka kelak.

[Disadur dari 'FULLFILLING LIFE' karya PARLINDUNGAN MARPAUNG]

0 comments: