20. JENIS-JENIS DOSA YANG HARUS DIMINTAKAN AMPUNAN (TAUBAT)

BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

(20) JENIS-JENIS DOSA YANG HARUS DIMINTAKAN AMPUNAN (TAUBAT)

Seorang hamba tidak berhak mendapat sebutan "Orang yang bertaubat" kecuali setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan, dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin.

12 (dua belas) jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri dari perkara-perkara ini, melindungi diri dan mawas diri agar tidak terseret kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabang-cabangnya, agar ada kejelasan batasan dan hakikatnya. Uraian ini termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat membutuhkannya.

1. KUFUR

Kufur ada 2 (dua) macam : Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak mendapatkan ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu mencela nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetubuhi istri pada duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut dengan istilah kufur, atau seperti firman Allah,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Dan, barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur." (QS. Al-Maidah : 44)

Menurut Ibnu Abbas dan Thawus, ini merupakan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat." Atha' menyebutnya kufur tidak seperti kufur yang semestinya, zhalim tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.

Ada yang mena'wili ayat ini sebagai berikut : Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya. Ada pula yang mena'wilinya sebagai berikut : Tidak memutuskan perkara menurut semua ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang mena'wilinya sebagai berikut : Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak tahu dan bukan kesalahan ta'wil, menurut ketetapan yang bertentangan dengan nash. Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang darinya karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak mendapat hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu merupakan hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib dan boleh memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.

Kufur besar ada 5 (lima) macam : Takdzib, istikbar, i'radh, syakk, nifaq. Kufur takdzib ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yang termasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Kufur istikbar atau iba' ialah seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah Allah, namun dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang termasuk jenis ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para rasul, namun dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah kufurnya musuh-musuh para rasul, seperti kufurnya Fir'aun dan para pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib. Kufur i'radh artinya berpaling dari Rasul dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, tidak menolong dan tidak pula memusuhinya serta tidak peduli terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani Abdi Yalail kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Demi Allah, aku akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau lebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina daripada aku harus berbicara denganmu." Kufur syakk artinya tidak pernah memiliki kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul, tapi selalu ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus membayang jika dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah, tidak mau mendengar dan tidak mau memperhatikannya. Padahal kejelasan bukti ini seperti kejelasan matahari pada siang hari. Kufur nifaq artinya memperlihatkan iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di dalam hatinya. Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian mendatang akan diuraikan macam-macamnya.

2. SYIRIK

Syirik ada 2 (dua) macam : Besar dan kecil. Syirik besar tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, yaitu membuat tandingan bagi Allah, pelakunya mencintai tandingan ini seperti cintanya kepada Allah. Ini merupakan syirik seperti syiriknya orang-orang musyrik yang menyamakan sesembahannya dengan Allah Rabbul 'alamin. Sementara mereka tetap mengakui bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu, penguasa dan rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini hanya dalam kecintaan, pengagungan dan penyembahan, seperti keadaan mayoritas orang-orang musyrik di mana pun jua, atau bahkan setiap orang musyrik. Mereka mencintai, mengagungkan, memuja dan membela sesembahannya selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya daripada cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika sesembahannya dicaci daripada kemarahan mereka jika Allah dicaci. Begitulah keadaan para penyembah berhala, yang menjadikan bebatuan, pepohonan atau benda mati apa pun sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Allah befirman tentang para pendahulu orang-orang musyrik,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
"Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Az-Zumar : 3)

Mereka merasa yakin di dalam hati bahwa sesembahan-sesembahan itu akan memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisi Allah. Maka Allah menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua syafaat ada di Tangan Allah. Tak seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat, yang perkataan dan perbuatannya diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Di antara kebodohan orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang dijadikannya sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat dan manfaat kepadanya di sisi Allah, seperti lazimnya pertolongan yang diberikan para pemimpin dan penguasa terhadap rakyatnya. Mereka tidak sadar bahwa siapa pun tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali yang mendapat izin-Nya. Sementara tak seorang pun yang diberi izin oleh Allah kecuali yang perbuatan dan perkataannya diridhai Allah.

Sedangkan syirik kecil seperti sedikit riya', mencari muka di hadapan manusia, bersumpah dengan selain Allah, perkataan seseorang kepada orang lain, "Menurut kehendak Allah dan kehendakmu", atau perkataannya, "Ini berasal dari Allah dan darimu", atau perkataannya, "Aku bergantung kepada Allah dan juga kepadamu", atau perkataannya, "Kalau bukan dirimu, tentu hal ini tidak akan terjadi". Tapi perkataan seperti ini bisa berubah menjadi syirik besar, tergantung kepada siapa yang mengatakannya dan apa tujuannya.

Macam-macam syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung banyaknya, yang tidak cukup bila disebutkan satu-persatu di sini.

3. NIFAQ

Nifaq merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam batin, yang bisa memenuhi seluruh batin dan hatinya, sementara dia tidak menyadarinya, sebab hal ini tidak bisa diketahui orang lain. Nifaq ini tersembunyi karena keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq itu bagus, tapi ternyata merusak.

Nifaq ada 2 (dua) macam : Besar dan kecil. Nifaq yang besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka dan berada di lapisan paling bawah.

Gambarannya, orang munafik menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab, para rasul dan hari akhirat di hadapan orang-orang Muslim, padahal di dalam batinnya dia tidak memiliki iman itu. Dia tidak beriman bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia yang dijadikan-Nya sebagai rasul, yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.

Allah telah menyibak tabir orang-orang munafik dan mengungkap rahasia mereka di dalam Al-Qur'an. Perkara mereka dijelaskan di hadapan orang lain, agar menjadi peringatan. Di awal surat Al-Baqarah disebutkan 3 (tiga) macam golongan manusia yang ada di dunia ini, yaitu: Orang-orang Mukmin, orang-orang kafir dan orang-orang munafik. 4 (empat) ayat tentang orang-orang Mukmin, 2 (dua) ayat tentang orang-orang kafir dan 13 (tiga belas) ayat tentang orang-orang munafik. Ayat tentang mereka lebih banyak jumlahnya, karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang mereka akibatkan lebih menyeluruh serta lebih membahayakan Islam dan para pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena mereka menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada Islam, padahal hakikatnya mereka adalah musuh Islam.

Demi Allah, berapa banyak orang yang seakan membela Islam, padahal sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa banyak orang yang membangun fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya. Islam dan para pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan mereka.

Inilah gambaran keadaan mereka yang disebutkan secara berurutan dalam surat Al-Baqarah, dari ayat 8 hingga ayat 20 :

Ayat 8 : Mereka mengenakan pakaian iman, sedang di dalam hatinya ada perasaan sesal dan merugi, dusta dan pengingkaran. Lidah mereka lidah orang yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan orang-orang kafir.

Ayat 9 : Modal mereka adalah tipuan dan makar. Barang dagangan mereka kedustaan dan pengkhianatan. Mereka mempunyai logika agar tetap eksis, yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah pihak, sehingga mereka tetap merasa aman.

Ayat 10 : Penyakit syubhat dan syahwat menyusup ke dalam hati mereka lalu merusaknya. Maksud yang buruk menguasai kehendak mereka dan niat mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan yang tidak bisa diobati oleh dokter.

Ayat 11 & 12 : Siapa yang bejana imannya disusupi keragu-raguan mereka, maka imannya akan tercabik-cabik, siapa yang pendengarannya dipengaruhi syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di dalam hatinya akan hilang, karena kerusakan mereka di muka bumi amat banyak, namun mereka tidak mau mengakuinya.

Ayat 13 : Seseorang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam pandangan mereka adalah orang yang berpegang kepada benda mati, dianggap kurang beres akalnya. Orang yang melaksanakan nash menurut pandangan mereka seperti keledai yang membawa kitab suci. Dagangan pedagang wahyu menurut pandangan mereka tidak laku dan mereka tidak mau menerimanya. Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan mereka termasuk orang-orang bodoh, dan mereka akan mengejeknya.

Ayat 14 : Masing-masing di antara mereka mempunyai dua wajah. Wajah saat berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu wajah lagi saat mereka berkumpul dengan rekan-rekan segolongannya. Mereka juga mempunyai dua lidah, satu lidah dipergunakan jika bersama orang-orang Muslim, dan satu lidah lagi dipergunakan untuk menerjemahkan rahasia yang terpendam di dalam hati mereka.

Ayat 15 : Mereka berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena hendak mengolok-olok dan mengejek orang-orang yang berpegang kepada keduanya.
Ayat 16 : Mereka keluar mencari perniagaan yang sia-sia di tengah lautan kegelapan, sambil naik perahu keragu-raguan dan berlayar di tengah gelombang hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun terombang-ambing dihembus badai hingga mereka pun terhempas dalam kebinasaan.

Ayat 17 : Api iman menyala di dekat mereka sehingga dengan cahayanya mereka bisa melihat tempat-tempat yang berdasarkan petunjuk dan tempat yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya padam dan tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang tidak, sehingga mereka tersiksa dengan keadaan itu, kemudian mereka sama sekali tidak bisa melihat.

Ayat 18 : Pendengaran, penglihatan dan lidah mereka sudah tertutup kerak, sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan iman, tidak bisa melihat hakikat Al-Qur'an dan tidak bisa mengatakan kebenaran.

Ayat 19 : Hujan wahyu turun kepada mereka, yang di dalamnya terhadap kehidupan bagi hati dan ruh. Tapi yang mereka dengar dari hujan itu hanya suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka mereka menyumbatkan jari ke lubang telinga mereka dan merekapun lari.

Ayat 20 : Dalam hujan lebat itu mereka tidak bisa melihat hanya dengan mengandalkan kilat yang menyambar, dan pendengaran mereka tidak mampu mendengar petir janji, perintah dan larangan. Mereka pun berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah yang kering kerontang.

Masih banyak sifat orang-orang munafik lainnya dan penggambaran tentang diri mereka yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sun-nah.

4. FUSUK DAN KEDURHAKAAN

Fusuk disebutkan dalam 2 (dua) macam dalam Al-Qur'an : Fusuk yang disebutkan sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan.

Yang disebutkan sendirian ada 2 (dua) macam : Fusuk kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Fusuk kufur seperti firman Allah,
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ ۖ كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ
"Dan, adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka adalah neraka. Setiapkali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya" (QS. As-Sajdah : 20)

Sedangkan fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (QS. Al-Hujurat : 6)

Ayat ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu'aith yang memanipulasi berita.

Fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan ialah melakukan apa yang dilarang Allah. Kedurhakaan di sini artinya mendurhakai perintah. Penggunaan lafazh fusuk lebih tertuju kepada pelaksanaan apa yang dilarang, sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada menyalahi dan melanggar perintah. Namun melakukan apa yang dilarang juga bisa berarti kedurhakaan jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan kata yang lain, maka pengertiannya seperti di atas.

Fusuk keyakinan ialah seperti fusuknya ahli bid'ah. Mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya hari akhirat, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tetapi mereka meniadakan sekian banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah karena kebodohan, ta'wil atau taqlid kepada guru, lalu mereka menetapkan sesuatu yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Taubat dari fusuk ialah dengan menetapkan bagi dirinya seperti yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa merubah atau pun mengganti.

5. DOSA DAN PELANGGARAN

Dosa dan pelanggaran merupakan pasangan, seperti firman-Nya,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah : 2)

Jika masing-masing dipisahkan, maka yang satu mencakup yang lainnya, sebab setiap dosa merupakan pelanggaran dan setiap pelanggaran adalah dosa, sebab keduanya berarti melaksanakan apa yang dilarang Allah dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan kata lain merupakan pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya, dan setiap pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka masing-masing bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.

Dosa ialah sesuatu yang diharamkan dari segi jenisnya, seperti dusta, zina, minum khamr dan lain-lainnya. Sedangkan pelanggaran ialah sesuatu yang diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran artinya tindakan yang melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang diharamkan dan ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam mengambil hak dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu kepada orang tersebut, entah berupa perampasan hartanya, badan atau kehormatannya. Jika orang yang dilanggar marah, maka orang yang melanggar justru lebih marah kepadanya. Jika orang yang dilanggar mengeluarkan perkataan yang pedas, maka perkataan orang yang melanggar justru lebih pedas lagi. Ini semua disebut pelanggaran dan perbuatan yang menyimpang dari keadilan.

Pelanggaran ada 2 (dua) macam : Pelanggaran terhadap hak Allah, dan pelanggaran terhadap hak hamba. Pelanggaran terhadap hak Allah seperti melanggar sesuatu yang diperbolehkan untuk dilakukan, semacam bersetubuh dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan selain istri. Bisa juga berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat berhubungan dengan istri, lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti menyetubuhi istri saat haid, nifas, puasa, di dubur dan lain-lainnya.

Pelanggaran juga bisa terjadi terhadap porsi yang diperbolehkan, lalu melakukannya dengan porsi yang lebih banyak, seperti memandang wanita yang hendak dilamar, kesaksian, mu'amalah, berobat dan lain-lainnya.

6. KEKEJIAN DAN KEMUNGKARAN

Kekejian merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, yang artinya perbuatan atau sesuatu yang keji, yang keburukannya jelas tampak dihadapan siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang pikirannya masih waras. Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan zina dan homoseks. Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya yang tidak mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut kekejian, yaitu perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti umpatan, tuduhan atau yang sejenisnya.

Sedangkan kemungkaran juga merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, atau perbuatan yang mungkar. Artinya perbuatan yang diingkari akal dan fitrah. Penisbatan kemungkaran ke akal seperti penisbatan bau busuk yang sampai ke indera penciuman, pemandangan buruk yang sampai ke indera penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke indera rasa, suara sumbang yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan fitrah akan menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan setiap indera ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak dikenalinya dan tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci dan dihindari adalah kekejian. Karena itu Ibnu Abbas berkata, "Kekejian adalah zina dan kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam syariat dan As-Sunnah."

7. MENGADA-ADAKAN TERHADAP ALLAH TANPA DILANDASI ILMU

Mengatakan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu merupakan perbuatan haram yang paling haram dan paling besar dosanya. Maka hal ini disebutkan pada tingkatan keempat dari perkara-perkara yang diharamkan, yang pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan agama, dalam keadaan bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apapun bentuknya tetap haram, tidak seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi tertentu masih diperbolehkan.

Hal-hal yang diharamkan itu ada 2 (dua) macam : Yang diharamkan berdasarkan barangnya, tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana pun juga, dan yang diharamkan menurut pertimbangan waktunya. Allah telah menjelaskan di dalam surat Al-A'raf : 33, 4 (empat) tingkatan hal-hal yang diharamkan dilihat dari jenis barangnya, dari yang lebih ringan ke tingkatan berikut yang lebih berat dan lebih besar. Perhatikanlah baik-baik masalah ini,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
"Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
"Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,
وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا
"Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang paling besar,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
"Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui."

Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah merupakan keharaman yang paling besar dan paling berat dosanya, karena di dalamnya terkandung kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada-Nya, merubah agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan
menetapkan apa yang ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya dan menolong siapa yang dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai-Nya, dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya terhadap Dzat, sifat, perkataan dan perbuatan-Nya.

Tidak ada jenis hal-hal yang diharamkan yang lebih berat dosanya daripada mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui, sebab ini merupakan cikal bakal syirik dan kufur, dasar bid'ah dan kesesatan. Setiap bid'ah yang dianggap sesat dalam agama karena bermula dari mengada-adakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu. Karena itu orang-orang salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid'ah ini dan memperingatkan semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran mereka terhadap bid'ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap kemungkaran, kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negatif dari bid'ah terhadap agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari orang yang menisbatkan kepada agama-Nya, dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, yang katanya itu datang dari Allah. Firman-Nya,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
"Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, 'Ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An-Nahl : 116)

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian waspada untuk mengatakan, 'Allah menghalalkan ini dan mengharamkan yang itu', lalu Allah berkata kepadanya, 'Engkau dusta, karena Aku tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan itu." Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah lebih umum daripada syirik, dan syirik merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyeret pelakunya ke neraka. Semua dosa ahli bid'ah masuk dalam dosa jenis ini, dan taubat darinya hanya bisa dilakukan dengan taubat dari segala bid'ah. Tapi bagaimana mungkin pelakunya mau taubat dari bid'ah, sementara dia tidak mau mengakui bahwa perbuatannya adalah bid'ah ?

Taubat Orang Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksanakan Kewajiban Yang Dilanggar Ini termasuk pernik-pernik hukum taubat dan permasalahannya, yaitu berkaitan dengan orang yang melanggar hak, namun ternyata dia juga tidak mampu memenuhi hak itu. Karenanya dia bertaubat. Lalu bagaimana hukum taubatnya ?

Hal ini dikaitkan dengan hak Allah dan hak hamba. Kaitannya dengan hak Allah seperti orang yang meninggalkan shalat fardhu secara sengaja dan tanpa ada alasan yang diperbolehkan, padahal dia juga tahu kewajibannya. Lalu dia bertaubat dan menyesal. Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang masalah ini.

Ada golongan yang mengatakan, taubatnya dengan cara menyesali tindakannya, melaksanakan kewajiban-kewajiban pada masa berikutnya dan mengqadha' kewajiban yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat 4 (empat) imam dan juga lain-lainnya.

Ada pula yang berpendapat, taubatnya dengan melaksanakan kewajiban pada masa mendatang dan qadha'nya terhadap kewajiban yang pernah ditinggalkan tidak memberikan manfaat apa-apa, tidak diterima dan tidak wajib. Ini merupakan pendapat Az-Zhahir dan sebagian orang-orang salaf.

Hujjah golongan yang mewajibkan qadha' adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya."

Inilah beberapa hujjah yang dikemukakan golongan kedua :
  • Jika qadha' diwajibkan terhadap orang yang tertidur dan lalai, yang berarti dia tidak sengaja meninggalkannya, maka kewajiban qadha' jauh lebih ditekankan terhadap orang yang sengaja meninggalkannya.
  • Ada dua macam kewajiban yang harus dia tanggung : Shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika salah satu ditinggalkan, maka kewajiban yang ditinggalkan masih menyisa satu lagi.
  • Jika seorang hamba tidak mendapatkan kemaslahatan perbuatan, maka dia bisa mendapatkannya menurut cara yang dimungkinkan. Karena dia tidak memperoleh kemaslahatan perbuatan pada waktu yang telah ditetapkan, maka dia bisa mendapatkannya dengan cara yang dimungkinkan, yaitu di luar waktunya.
  • Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian." Pelaksanaan apa yang diperintahkan ini bisa dilakukan di luar waktu, karena pelakunya tidak bisa melaksanakannya pada waktu yang telah ditetapkan. Maka dia tetap harus melaksanakannya menurut kesanggupannya.
  • Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan tertidur atau lalai ?
  • Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya, seperti tayammum sebagai pengganti wudhu', memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari keharusan puasa, dan masih banyak contoh lain.
  • Karena shalat itu merupakan hak yang ada batasan waktunya, maka penundaan pelaksanaannya tidak dianggap gugur kecuali dengan segera melaksanakannya di luar waktu, seperti hutang yang ditangguhkan pembayarannya.
  • Memang dia tetap berdosa karena penundaannya, dan dosa ini tidak gugur karena qadha', seperti orang yang menunda pembayaran zakat dari waktu yang diwajibkan atau menunda pelaksanaan haji.
  • Orang yang meninggalkan shalat Jum'at secara sengaja, maka dia adalah orang yang durhaka karena penundaannya. Maka dia harus mendirikan shalat zhuhur. Pengaitan zhuhur ini dengan Jum'at, sama dengan pengaitan pelaksanaan shalat subuh setelah matahari terbit dengan pelaksanaannya sebelum matahari terbit.
  • Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menunda shalat ashar hingga setelah matahari terbenam pada waktu perang Ahzab. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaannya dimungkinkan di luar waktu secara sengaja, entah karena ada alasan seperti ini dan juga yang dilakukan para sahabat sewaktu perang Bani Quraizhah, atau pun tanpa ada alasan seperti orang yang menundanya secara sengaja.
  • Andaikan shalat di luar waktu itu tidak sah dan tidak wajib, tentunya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk shalat kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Maka di antara mereka ada yang mengerjakan shalat ashar pada malam harinya, sementara beliau tidak menghardik mereka.
  • Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya? Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kaidah syariat, hikmah dan rahmatnya, yang sangat memperhatikan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.
Dan, inilah hujjah-hujjah yang dikemukakan golongan lainnya, yang mengatakan bahwa qadha' itu tidak ada artinya, beserta sanggahan terhadap hujjah golongan yang pertama :
  • Jika ada perintah ibadah dengan sifat dan waktunya yang tertentu, maka orang yang mendapat perintah tidak boleh melaksanakannya kecuali menurut ketentuan yang diperintahkan, yang mencakup sifat, waktu dan syaratnya.
  • Mengeluarkan shalat dari waktu yang telah ditentukan sama seperti mengeluarkan shalat itu dari keharusan menghadap kiblat, sujud pada pipi sebagai ganti kening dan lain-lainnya.
  • Ibadah yang sudah ada ketentuan waktunya, sama dengan ibadah yang sudah ada ketentuan tempatnya. Satu tempat tidak bisa menggantikan tempat lainnya, seperti tempat-tempat manasik haji. Thawaf di sekeliling Ka'bah tidak bisa dialihkan ke Arafah atau tempat lainnya. Begitu pula yang lainnya, dan begitu pula dengan ketentuan waktu setiap ibadah. Memindahkan waktu shalat yang sudah ditetapkan ke waktu lain, seperti memindahkan waktu wuquf di Arafah ke Muzdalifah pada waktu yang lain, dan memindahkan bulan haji ke bulan lainnya.
  • Orang-orang yang mengesahkan pelaksanaan shalat fardhu di luar waktunya (secara sengaja) tidak didukung nash, ijma' maupun qiyas yang benar. Kami juga akan menggugurkan semua qiyas yang mereka pergunakan dan kami juga akan menjelaskan ketidak akuratannya.
  • Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad dan juga lainnya disebutkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa tidak puasa sehari pada bulan Ramadhan tanpa ada alasan, maka dia tidak perlu mengqadha'nya dengan puasa setahun penuh." Lalu bagaimana mungkin mereka yang mengatakan bahwa dia harus mengqadha' sehari seperti yang ditinggalkannya ?
  • Karena ibadah yang sah seperti yang dijelaskan pembawa syariat, maka tidak ada yang bisa diketahui tentang sah tidaknya kecuali berdasarkan pengabaran beliau dan yang sesuai dengan perintah beliau. Maka bagaimana mungkin mereka bisa mengklaim sahnya shalat itu ?
  • Sah atau tidak sah itu merupakan dua hukum syariat, yang dikembalikan kepada pembawa syariat. Yang sah adalah yang dipersaksikan bahwa memang ibadah itu sah atau diketahui sejalan dengan perintahnya. Sementara shalat fardhu yang sengaja ditinggalkan ini tidak sejalan dengan kaidah ini. Letak kesalahannya, karena mereka membandingkannya dengan penundaan shalat karena memang ada alasan yang diperbolehkan. Dengan kata lain, mereka membandingkan sesuatu justru dengan sesuatu yang berlawanan. Berarti ini merupakan qiyas yang tidak sah.
  • Dalil yang mereka pergunakan, yaitu sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya", bahwa qadha' diwajibkan terhadap orang yang meninggalkan shalat karena alasan tertentu, sehingga siapa yang meninggalkannya justru lebih wajib, ini merupakan hujjah yang justru menjadi bumerang. Beliau mensyaratkan 2 (dua) alasan meninggalkan pelaksanaan shalat itu hingga setelah lewat dari waktunya, yaitu tertidur dan lalai. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat, akan dianggap tidak ada jika syaratnya juga tidak ada. Berarti qiyas yang seharusnya mereka pergunakan ialah membandingkannya dengan orang durhaka yang layak mendapat hukuman.
  • Waktu shalat bisa dibagi menjadi 3 (tiga) macam : Pertama, waktu bagi orang yang mampu, terjaga, ingat dan tidak ada rintangan, yang jumlahnya ada lima. Kedua, waktu bagi orang yang ingat, terjaga dan ada rintangan, yang jumlahnya ada 3 (tiga) : Waktu zhuhur dan ashar, maghrib dan isya' dan subuh. Ketiga, waktu bagi orang yang tidak dianggap mukallaf, yaitu karena tertidur dan lalai. Yang ketiga ini tidak ada batasannya sama sekali. Waktunya ialah setelah dia terjaga dan ingat. Tidak ada waktu shalat selain yang 3 (tiga) macam ini.
  • Menurut hujjah golongan yang pertama, bahwa ada 2 (dua) kewajiban yang ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika satu ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti ini berlaku jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan syarat, seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan zakat. Jika satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi jika salah satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin dia diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya ?
  • Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian", terlalu jauh untuk dijadikan hujjah. Sabda beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu untuk mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan apa yang disanggupinya, seperti orang yang tidak mamp berdiri sewaktu shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu', atau menginfakkan harta yang wajib diinfakkan, atau lain-lainnya, sehinggadia bisa mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan tentang apa yang ada di luar kesanggupannya. Tapi orang yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya secara sengaja atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu dibicarakan lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.
  • Perkataan golongan pertama, "Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan", sulit diterima. Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu melaksanakannya sesuai dengan perintah seperti pada saatnya.
  • Perkataan golongan pertama, "Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya", hanya sekedar isapan jempol dan pernyataan yang dibuat sepintas lalu saja. Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat orang yang mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap sebagai pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat, seperti pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air dan makan saat tidak kuat berpuasa.
  • Mengerjakan shalat di luar waktunya dianggap sah, yang diqiyaskan kepada pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika dilaksanakan di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan qiyas yang tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki batasan seperti halnya shalat.
  • Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunda shalat ashar hingga setelah tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka ada 2 (dua) pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus) atau tidak ? Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi'y dan Malik berpendapat, ini terjadi sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah ini pun dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan itu mirip dengan penundaan karena ada 2 (dua) shalat yang dijama'. Jadi tidak shalat ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu yang diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian ini tidak dihapus. Orang yang sedang berperang mempunyai hak untuk menunda shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu mengerjakannya pada saat yang memungkinkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan 2 (dua) pendapat ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak dianggap sah. Begitu pula yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar sewaktu perang Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menurut pendapat Ahli Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan itu memerlukan ta'wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah satu pihak di antara para shahabat.
  • Tentang perkataan golongan pertama, "Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya ?", tentu saja tidak mungkin bagi Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya bagi semua hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia, semenjak matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi yang perlu dipertimbangkan adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas ada kepastian hukum bahwa shalat itu memang perlu diqadha' dan apa yang telah dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupakan pahala baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya ? Apakah hukumnya seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya dianggap tidak ada dan taubatnya langsung diterima ?
Sedangkan taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang berkaitan dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah berikut ini.
  1. Pertama : Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada kesempatan lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa yang telah diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya, karena dia tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali kecuali dengan mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Jika dia tidak sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima. Maka pada hari kiamat nanti akan diberlakukan qishash berdasarkan kebaikan dan keburukannya. Menurut pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manusia yang lepas darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara hak-hak hamba, sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian yang lain, tidak ada kezhaliman orang yang zhalim. Orang yang dizhalimi harus mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, sekalipun itu hanya berupa satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil. Cara lain yang bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan memperbanyak kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya pada hari yang harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbisnis agar dapat memenuhi hak. Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu bersabar jika kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan dituduh macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan tidak perlu membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi dia menuntut pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama. Ada perbedaan pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan orang mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh dipergunakan untuk keperluan apapun. Golongan lain berpendapat, harta itu diserahkan kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk, menunggu sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti harta yang hilang.
  2. Kedua : Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia bertaubat dan ingin mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada orang lain yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari harta yang haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamr dan lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya. Maka bagaimana hukumnya ? Segolongan orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut ketentuan yang diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu harus dishadaqahkan.
  3. Ketiga : Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal dunia, sehingga dia tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti yang sudah ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan kepada ahli waris berikutnya. Begitu seterusnya. Jika dia tidak bisa mengembalikan kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli warisnya, siapakah yang berhak menuntut di akhirat ? Apakah pemilik aslinya ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu ?
Ada 2 (dua) pendapat di kalangan fuqaha' dan 2 (dua) pendapat dalam madzhab Asy-Syafi'y. Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut : Penuntutan itu menjadi hak pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak masing-masing ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk itu. Orang yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikan-nya. Jika tidak mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia akan dituntut atas hak tersebut.

Lalu bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan mereka ?

Ada yang berpendapat, caranya dengan menshadaqahkan harta itu atas nama pemilik aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus berkembang manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai dengan manfaat yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut.

[Berikutnya....(21) Taubat Yang Tertolak]

[Disalin dari Buku dengan Judul Asli : Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in (Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Muhaqqiq : Muhammad Hamid Al-Faqqy, Penerbit : Darul Fikr. Beirut, 1408 H.) Edisi Indonesia dengan judul : MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkrit "Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in"(Karya : Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah : Kathur Suhardi, Penerbit :Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 1998)]

0 comments: