Secara historis sosiologis, terdapat tiga konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pertama, komunisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individu. Kedua, kapitalisme dengan prinsip menitikberatkan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Ketiga, prinsip Islam dengan menjaga keseimbangan antara hak individu dan sosial yang direalisasikan dalam ajaran zakat, infak, dan sedekah.
Lembaga-lembaga pengelola zakat dan peran fungsi pemberdayaan zakat diarahkan menjawab permasalahan kemiskinan secara permanen. Tugas para pengelola zakat tidak berhenti pada pemberian santunan dana semata dan bersifat sementara, tetapi bagaimana upaya-upaya pemberdayaan umat penerima zakat agar terbebas dari jerat kemiskinan. Bukan membiarkan umat-umat tersebut dalam kemiskinan hingga terbiasa dan bangga, serta menjadi komoditas.
Beberapa langkah yang dimungkinkan bisa dilakukan dalam memberi solusi terhadap permasalahan zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan, antara lain :
- Pertama, sosialisasi dan edukasi, menyampaikan pengetahuan, pencerahan, dan penyadaran secara terus-menerus kepada masyarakat dari berbagai kalangan melalui berbagai media. Masyarakat diharapkan semakin menyadari bahwa zakat itu adalah ibadah yang memiliki dimensi dan hikmah yang sangat luas.
- Kedua, penguatan institusi amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah dan profesional. Hal ini sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan dari masyarakat.
Kepercayaan merupakan unsur yang sangat penting. Masyarakat harus yakin betul bahwa jika zakatnya disalurkan melalui amil. Dengan demikian, amil zakat pun harus memiliki program-program yang jelas dan terencana.
Pelaporan pada muzaki menjadi suatu keharusan. Itulah sebabnya, pada zaman Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat, yang ditugaskan menjadi amil zakat itu selalu orang-orang yang sudah terkenal kesalehan dan keamanannya, seperti Muadz bin Jabal, Ali bin Abi Thalib, Ibn Luthaibah, dan lain-lain. - Ketiga, program penyaluran dan pendistribusian zakat yang tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan syariah. Setiap zakat yang dikeluarkan harus mengena pada mustahik zakat yang delapan, sebagaimana digambarkan dalam QS. Attaubah : 60.
Sesuai dengan kondisi dan situasi, tentu saja makna dan pengertian masing-masing mustahik dapat berkembang dari waktu ke waktu. - Keempat, sinergi dan kerja sama antarkomponen masyarakat, seperti pemerintah, para ulama, para tokoh, ormas Islam, termasuk antarinstitusi amil zakat, sehingga zakat itu dapat dirasakan menjadi tanggung jawab bersama.
Sudah waktunya antarsesama amil zakat saling membantu, misalnya dengan melakukan sinergi dalam pendayagunaan dan memetakan posisi muzakki serta mustahik. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Maidah : 2,
[Ditulis Oleh : DR. H. EDI SISWADI MSi., Sekretaris Daerah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 27 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."***[Ditulis Oleh : DR. H. EDI SISWADI MSi., Sekretaris Daerah Kota Bandung. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Pahing) 27 Agustus 2010 pada kolom "RAMADAN KARIM"]
0 comments:
Post a Comment