KOMANDAN TELADANI KEJUJURAN PRAJURIT

Perang Qadisiyah adalah kontak senjata antara kaum Muslim dan Dinasti Sasaniyah. Peristiwa yang terjadi pada 635 M itu, merupakan pertempuran akbar selama masa Khalifah Umar. Betapa tidak, bukankah konflik berdarah itu berlangsung relatif lama. Lagi pula, jumlah korban dari kedua belah pihak cukup banyak. Bahkan, lebih dari itu, keberhasilan kaum Muslim mengalahkan dinasti itu merupakan jalan masuk Islam ke jantung Kekaisaran Persia.

Panglima Perang Persia, Rustam berhasil membangun pasukan sangat besar. Ia merekrut tidak kurang dari 200.000 orang. Dari jumlah itu hampir 30.000 personel adalah tentara reguler. Mereka sangat terlatih dan berpengalaman dalam perang melawan tentara Roma. Selebihnya, sukarelawan dari pelbagai wilayah kerajaan. Pasukan besar itu, kecuali tentara berkuda, juga terdapat pasukan berunta dan infanteri lainnya. Juga diperkuat oleh pasukan gajah, dengan persenjataan lengkap dan perhiasan kebesaran. Sementara milisi Muslim di bawah komando Sa'ad bin Abi Waqash, jumlahnya tidak lebih dari seperlima. Meskipun demikian, rupanya Panglima Rustam kurang percaya diri. Beberapa peristiwa berikut mengindikasikan hal itu.

Pertama, ketika terbetik berita, Khalifah Umar sedang bersiap mengadakan mobilisasi umum untuk keperluan gerakan pembebasan (futuhat), Rustam segera mengutus delegasi menghadap Kaisar Cina. Maksudnya untuk meminta bantuan. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari delegasi itu, tentang keadaan kaum Muslim saat itu.

Dalam melukiskan kaum Muslim mereka berkata, "Innahum kanu ruhbanan bi al-layl, wa usudan bi al-nahary (Kaum Muslim itu sejatinya laksana pendeta salih di malam hari. Namun jika siang tiba mereka berubah bagaikan singa garang)."

Kedua, waktu pasukan Persia dan milisi Muslim sudah saling berhadapan, Rustam dengan pelbagai cara berusaha mengulur-ulur waktu. Misalnya, dengan meminta berulang kali agar Panglima Sa'ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan untuk berunding. Ajakan Rustam diduga kuat hanya sebuah siasat, lantaran merasa miris menghadapi peperangan.

Meskipun demikian, Sa' ad bin Abi Waqash tetap meladeni, karena semangat Islam cinta damai. Oleh karena itu, tercatat nama-nama Zahrah bin Haubah, Mughirah bin Syu'bah, dan Rub'i bin Amir, sebagai juru runding dari pihak Muslim.

Dalam setiap perundingan, delegasi Muslim secara konsisten tetap menawarkan tiga opsi, memeluk Islam, menyerah secara damai dan membayar jizyah, atau berperang. Maka, bagi Rustam tidak ada alternatif lain, kecuali memilih opsi yang terakhir, berperang ! Dengan begitu, hasratnya untuk menghindar dari peperangan sia-sia belaka.

Kini genderang perang mulai ditabuh. Hari pertama dan kedua berlangsung perang tanding. Korban pun mulai berjatuhan. Pada hari ketiga baru berkobar perang secara massal dan total. Pasukan Rustam bergerak serentak dengan seluruh daya dan kekuatan. Tentara bergajah andalan mereka, ditempatkan di lini paling depan, diikuti pasukan lain. Strategi itu untuk sementara memang jitu. Para milisi Muslim tampak kewalahan.

Namun, dalam pertempuran selanjutnya, strategi itu justru berbalik jadi titik lemah mereka. Sebab, ketika tentara Muslim dapat menghancurkan belalai dan mata dua ekor gajah paling besar dan terdepan, raksasa hitam itu mulai berputar-putar dan melarikan diri. Kemudian diikuti gajah lain yang berada di belakangnya. Maka, pasukan mereka jadi kacau-balau, yang dimanfaatkan oleh tentara Muslim untuk melumpuhkan kekuatan mereka.

Bala bantuan yang dikirim Abu Ubaidah al-Jarah dari Suriah, tiba tepat waktu. Tidak heran, tentara musuh semakin terdesak. Akhirnya, Panglima Rustam pun mati terbunuh. Tentara Muslim terus melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa lawan hingga memasuki Kota Madain, tempat Kaisar Persia bertakhta.

Kota itu sepi. yang mereka temukan dalam Istana hanya barang-barang berharga warisan para penguasa dari waktu ke waktu. Seperti baju besi dan pelbagai jenis pedang, mahkota berhiaskan permata dan jubah kerajaan, patung kuda terbuat dari emas dengan pelana perak, serta batu-batu zamrud dan merah delima di dadanya. Yang lainnya patung unta betina dari perak dengan pelana emas, lengkap dengan tali kekang yang dipenuhi batu mulia.

Sesuai dengan aturan yang berlaku, seperlima harta rampasan itu (khumus), dikirimkan ke Madinah untuk diserahkan ke baitulmal. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk seorang prajurit yang kemudian diketahui bernama 'Amr bin Abd al-Qais.

Singkat cerita, prajurit yang bertugas menyerahkan khumus itu sudah sampai di Madinah. Ia menyerahkannya secara utuh ke tangan Khalifah. Sedikit pun tidak ada yang hilang atau berkurang. Khalifah Umar dan kaum Muslim ibu kota terkagum-kagum melihat peristiwa itu.

Seorang di antara mereka yang hadir bertanya dengan maksud menyelidiki, "Adakah sesuatu yang Anda sembunyikan dari barang-barang ini, sebelum Anda serahkan kepada kami ?" Ia menjawab (boleh jadi dengan perasaan sedikit tersinggung): "Wallah ! Seandainya aku tidak takut Allah SWT., semua barang ini tidak akan pernah aku serahkan kepada kalian."

Khalifah Umar berdecak kagum dan berkata, "Kejujuran prajurit itu sungguh luar biasa. Aku kagum dibuatnya." Ali bin Abi Thalib RA. yang berdiri di samping Khalifah menimpali ucapan Umar dengan mengatakan, "Innaka 'affafta,fa affat al-ra'yah (Karena sesungguhnya Tuan memelihara diri wahai Amirul Mukminin, maka rakyat pun demikian pula)."

Ucapan Imam Ali bin Abi Thalib RA. mengingatkan kita pada teori Ibn Khaldun dalam mukadimahnya. Bapak sejarah dari dunia Timur itu berkata, "Inna al-Nas 'ala din mulukih (Bahwa sejatinya rakyat itu semata-mata mengikuti perilaku rajanya)." ***

[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Minggu (Pon) 28 Agustus 2011 / 28 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]

by

u-must-b-lucky

0 comments: