Imam Zainal Abidin adalah keturunan Rasulullah SAW. Ia selamat dari kebiadaban tentara Yazib bin Muawiyah ketika terjadi pembantaian terhadap Imam Husain dan para sahabatnya di Padang Karbala. Waktu itu, Imam Zainal Abidin sedang sakit yang memaksa dia tetap berada dalam kemahnya.
Sejatinya, sebutan Zainal Abidin adalah gelar yang diberikan masyarakat Muslim kepada Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA. Sebutan itu diperoleh cucu Fathimah al-Zahra binti Rasulillah SAW. ini karena tokoh yang satu ini selalu larut dalam pengabdian kepada Allah SWT. Ia kerap kali melakukan sujud. Karena itu pula, kulit dahi Imam tampak mengeras dan kehitam-hitaman. Bahkan tak jarang kedua telapak kaki dan tangannya membengkak lantaran berlama-lama dalam shalat.
Selain sebutan di atas, masyarakat pun menggelarinya al-Sajjad (yang amat banyak sujudnya). Putranya, Muhammad al-Baqir menjelaskan perihal sujud ayahnya, "Setiap kali ayahku teringat, atau menyebut nikmat Allah SWT., ia langsung bersujud; Setiap kali membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata sujud, ia pun bersujud; Jika telah selesai melaksanakan shalat fardu, ia sujud juga; Juga, apabila berhasil mendamaikan orang yang bertengkar, ia pun bersujud."
Jika Imam Zainal Abidin shalat malam, ia sudah tidak hirau lagi terhadap peritiwa di luar dirinya. Pernah pada suatu malam terjadi kebakaran di rumahnya, waktu ia sedang sujud dalam shalatnya. Orang-orang di luar memanggil-manggil, "Wahai putra Rasulullah ! Wahai putra Rasulullah ! Api! Api sedang membakar rumah Tuan !" Namun, ia seolah-olah tidak mendengar teriakan mereka. Hal itu tidak membuat dia bangkit dari sujudnya. Ia tetap dalam shalatnya sampai api itu dapat dipadamkan. Ketika kemudian ditanyakan, mengapa ia tidak menghiraukan teriakan-teriakan mereka, Imam menjawab, "Api yang lebih besar dari itu (maksudnya api neraka di akhirat) telah menyita seluruh perhatianku."
Akan tetapi, harap dicatat keasyikan dalam ibadah ritual ternyata tidak menghalangi Imam untuk menjalankan aktivitas kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kegiatan yang disebut belakangan kita namakan saja kesalihan sosial. Seluruh aktivitas hidup Imam Zainal Abidin dapat diringkas dalam satu kalimat, "Menghambakan diri kepada Allah SWT. dan berkhidmat kepada sesama manusia."
Salah satu sifat Imam Zainal Abidin yang paling menonjol adalah kedermawanannya. Ia memang sangat pemurah. Untuk melukiskan kedermawanannya itu, seorang penyair yang termasyhur pada zamannya, Farazdaq (lihat Bagir, 1983:57 dan 59) mengatakan,
Kilta yadaihi ghiyatsun 'amma nafuhuma. Yustawkafani wa la ya 'ruhuma al-'adam. Sahl al-khaliqah la tukhsya bawadiruh. Yuzayyinuhu itsnani husn al-khulq wa al-karam. Ma qala "la" qathth illa fi tasyahhudih. Law la al-tasayhhud kanat la'uhu na'am.
(Kedua tangannya bagai hujan tercurah merata, bertebaran kebajikannya di mana-mana. Tiada keduanya hampa meski berhamburan kedermawanannya. Sederhana perangainya, tiada dikhawatirkan akibat marahnya. Kedermawanan dan akhlak mulia selalu menghiasi dirinya. Kata "tidak" tak pernah diucapkannya kecuali dalam ikrar syahadat. Seandainya bukan dalam syahadat ia terpaksa, niscaya "tidak"-nya berganti dengan "ya".)
Oleh karena itu, tidak heran kalau dalam satu riwayat dikatakan, bahwa ia kerap memikul karung-karung roti dan tepung di pundaknya pada malam hari, yang kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk miskin Madinah. Lantaran dilakukan dalam kegelapan malam, untuk sementara waktu pihak-pihak yang dibantu tidak mengenal siapa pemberi sedekah itu. Rahasia tersebut baru terbongkar setelah Imam Zainal Abidin wafat. Sejak dia meninggal dunia, kiriman berupa "sedekah malam" itu tidak pernah datang lagi.
Imam Zainal Abidin memang amat mencintai masyarakat kelas bawah. Misalnya, orang miskin, hamba sahaya, dan kaum mustadh'afin lainnya. Ia sering kali mengunjungi mereka, duduk-duduk bersamanya, serta berbincang dengan ramah dan penuh kasih sayang. Jika datang seorang peminta-minta kepadanya, ia selalu menyambut dengan kata-kata, Marhaban, ya man yahmilu zadi ila al-akhirah. Artinya, "Selamat datang wahai sahabat, yang hendak memikul bekalku menuju kampung akhirat !"
Tidak sedikit hamba sahaya yang kemudian menjalani hidup sebagai orang merdeka lantaran usaha Imam Zainal Abidin. Untuk itu, terutama pada bulan suci Ramadhan, ia mengeluarkan banyak uang. Ia membeli budak-budak itu dari pemiliknya untuk kemudian mereka dimerdekakan tanpa syarat. Selain itu, Imam terkenal karena perilakunya yang lembut terhadap hamba sahaya. Sekelumit kisah di bawah ini merupakan lukisan nyata dari sifat-sifat tersebut.
Suatu ketika seorang hamba sahaya membawakan cerek tempat air wudhu untuknya. Secara tidak sengaja cerek itu tiba-tiba terlepas dari tangannya dan jatuh menimpa, bahkan melukai kepala Imam Zainal Abidin. Karena takut, hamba sahaya itu segera memohon maaf seraya berkata, "Tuanku, Allah SWT. telah berfirman, Wa al-kazhimin al-ghayzha (Dan orang-orang yang menahan amarahnya)." Imam menjawab, "Baiklah, sudah aku tahan amarahku." Sahaya itu melanjutkan bacaannya, "Wa al-'afin 'an al-nas (Dan orang-orang yang memaafkan orang lain)." "Ya, baik. Kamu telah kumaafkan," jawabnya. Sahaya itu masih terus membaca penutup ayat tersebut, yang bunyinya, "Wallahu yuhibb al-muhsinin (Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan)." Setelah selesai ayat itu dibacakan, Imam kemudian mengatakan, "Baiklah, sekarang kamu bebas pergi ke mana saja. Demi meraih keridhaan Allah, mulai saat ini kamu telah kumerdekakan."
Begitulah cara Imam Zainal Abidin mencintai orang-orang kecil. Ia melakukannya, tidak cukup sekadar pengajaran dalam bentuk ucapan, melainkan juga lewat keteladanan dan amal yang nyata. Mungkin ada gunanya kita mengambil pengajaran ('ibrah) dari kisah tersebut. Terlebih lagi ketika bangsa ini mengalami kelangkaan figur teladan.
Mudah-mudahan.***
[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI, tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Senin (Pahing) 22 Agustus 2011 / 22 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
Sejatinya, sebutan Zainal Abidin adalah gelar yang diberikan masyarakat Muslim kepada Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA. Sebutan itu diperoleh cucu Fathimah al-Zahra binti Rasulillah SAW. ini karena tokoh yang satu ini selalu larut dalam pengabdian kepada Allah SWT. Ia kerap kali melakukan sujud. Karena itu pula, kulit dahi Imam tampak mengeras dan kehitam-hitaman. Bahkan tak jarang kedua telapak kaki dan tangannya membengkak lantaran berlama-lama dalam shalat.
Selain sebutan di atas, masyarakat pun menggelarinya al-Sajjad (yang amat banyak sujudnya). Putranya, Muhammad al-Baqir menjelaskan perihal sujud ayahnya, "Setiap kali ayahku teringat, atau menyebut nikmat Allah SWT., ia langsung bersujud; Setiap kali membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata sujud, ia pun bersujud; Jika telah selesai melaksanakan shalat fardu, ia sujud juga; Juga, apabila berhasil mendamaikan orang yang bertengkar, ia pun bersujud."
Jika Imam Zainal Abidin shalat malam, ia sudah tidak hirau lagi terhadap peritiwa di luar dirinya. Pernah pada suatu malam terjadi kebakaran di rumahnya, waktu ia sedang sujud dalam shalatnya. Orang-orang di luar memanggil-manggil, "Wahai putra Rasulullah ! Wahai putra Rasulullah ! Api! Api sedang membakar rumah Tuan !" Namun, ia seolah-olah tidak mendengar teriakan mereka. Hal itu tidak membuat dia bangkit dari sujudnya. Ia tetap dalam shalatnya sampai api itu dapat dipadamkan. Ketika kemudian ditanyakan, mengapa ia tidak menghiraukan teriakan-teriakan mereka, Imam menjawab, "Api yang lebih besar dari itu (maksudnya api neraka di akhirat) telah menyita seluruh perhatianku."
Akan tetapi, harap dicatat keasyikan dalam ibadah ritual ternyata tidak menghalangi Imam untuk menjalankan aktivitas kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kegiatan yang disebut belakangan kita namakan saja kesalihan sosial. Seluruh aktivitas hidup Imam Zainal Abidin dapat diringkas dalam satu kalimat, "Menghambakan diri kepada Allah SWT. dan berkhidmat kepada sesama manusia."
Salah satu sifat Imam Zainal Abidin yang paling menonjol adalah kedermawanannya. Ia memang sangat pemurah. Untuk melukiskan kedermawanannya itu, seorang penyair yang termasyhur pada zamannya, Farazdaq (lihat Bagir, 1983:57 dan 59) mengatakan,
Kilta yadaihi ghiyatsun 'amma nafuhuma. Yustawkafani wa la ya 'ruhuma al-'adam. Sahl al-khaliqah la tukhsya bawadiruh. Yuzayyinuhu itsnani husn al-khulq wa al-karam. Ma qala "la" qathth illa fi tasyahhudih. Law la al-tasayhhud kanat la'uhu na'am.
(Kedua tangannya bagai hujan tercurah merata, bertebaran kebajikannya di mana-mana. Tiada keduanya hampa meski berhamburan kedermawanannya. Sederhana perangainya, tiada dikhawatirkan akibat marahnya. Kedermawanan dan akhlak mulia selalu menghiasi dirinya. Kata "tidak" tak pernah diucapkannya kecuali dalam ikrar syahadat. Seandainya bukan dalam syahadat ia terpaksa, niscaya "tidak"-nya berganti dengan "ya".)
Oleh karena itu, tidak heran kalau dalam satu riwayat dikatakan, bahwa ia kerap memikul karung-karung roti dan tepung di pundaknya pada malam hari, yang kemudian dibagi-bagikan kepada penduduk miskin Madinah. Lantaran dilakukan dalam kegelapan malam, untuk sementara waktu pihak-pihak yang dibantu tidak mengenal siapa pemberi sedekah itu. Rahasia tersebut baru terbongkar setelah Imam Zainal Abidin wafat. Sejak dia meninggal dunia, kiriman berupa "sedekah malam" itu tidak pernah datang lagi.
Imam Zainal Abidin memang amat mencintai masyarakat kelas bawah. Misalnya, orang miskin, hamba sahaya, dan kaum mustadh'afin lainnya. Ia sering kali mengunjungi mereka, duduk-duduk bersamanya, serta berbincang dengan ramah dan penuh kasih sayang. Jika datang seorang peminta-minta kepadanya, ia selalu menyambut dengan kata-kata, Marhaban, ya man yahmilu zadi ila al-akhirah. Artinya, "Selamat datang wahai sahabat, yang hendak memikul bekalku menuju kampung akhirat !"
Tidak sedikit hamba sahaya yang kemudian menjalani hidup sebagai orang merdeka lantaran usaha Imam Zainal Abidin. Untuk itu, terutama pada bulan suci Ramadhan, ia mengeluarkan banyak uang. Ia membeli budak-budak itu dari pemiliknya untuk kemudian mereka dimerdekakan tanpa syarat. Selain itu, Imam terkenal karena perilakunya yang lembut terhadap hamba sahaya. Sekelumit kisah di bawah ini merupakan lukisan nyata dari sifat-sifat tersebut.
Suatu ketika seorang hamba sahaya membawakan cerek tempat air wudhu untuknya. Secara tidak sengaja cerek itu tiba-tiba terlepas dari tangannya dan jatuh menimpa, bahkan melukai kepala Imam Zainal Abidin. Karena takut, hamba sahaya itu segera memohon maaf seraya berkata, "Tuanku, Allah SWT. telah berfirman, Wa al-kazhimin al-ghayzha (Dan orang-orang yang menahan amarahnya)." Imam menjawab, "Baiklah, sudah aku tahan amarahku." Sahaya itu melanjutkan bacaannya, "Wa al-'afin 'an al-nas (Dan orang-orang yang memaafkan orang lain)." "Ya, baik. Kamu telah kumaafkan," jawabnya. Sahaya itu masih terus membaca penutup ayat tersebut, yang bunyinya, "Wallahu yuhibb al-muhsinin (Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan)." Setelah selesai ayat itu dibacakan, Imam kemudian mengatakan, "Baiklah, sekarang kamu bebas pergi ke mana saja. Demi meraih keridhaan Allah, mulai saat ini kamu telah kumerdekakan."
Begitulah cara Imam Zainal Abidin mencintai orang-orang kecil. Ia melakukannya, tidak cukup sekadar pengajaran dalam bentuk ucapan, melainkan juga lewat keteladanan dan amal yang nyata. Mungkin ada gunanya kita mengambil pengajaran ('ibrah) dari kisah tersebut. Terlebih lagi ketika bangsa ini mengalami kelangkaan figur teladan.
Mudah-mudahan.***
[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI, tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Senin (Pahing) 22 Agustus 2011 / 22 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
0 comments:
Post a Comment