Tidak sedikit di antara manusia yang terperangkap angan-angan. Mengetahui arti, manfaat, dan tujuan berbuat kebaikan, tetapi hanya sebatas keinginan. Sulit untuk membuktikan dalam praktik. Banyak syarat itu dan ini yang dirancang secara sepihak oleh dirinya sendiri, sebelum mau melaksanakan segala apa yang diniatkannya.
Sikap semacam itu mendapat sindirian dari Allah SWT.,
Padahal, berbuat kebaikan -termasuk sedekah- lebih utama ketika badan sehat. Jangan terlambat dinanti-nanti. Apalagi, jika nyawa sudah tersekat di tenggorokan.
Rasulullah SAW. kedatangan seorang laki-laki yang bertanya sedekah apa yang paling besar pahalanya ? Jawab Rasulullah SAW.,
Padahal, harta yang ingin dijadikan sarana kebaikan itu sudah menjadi milik si Fulan. Artinya, sudah berada di tangan orang lain, baik ahli warisnya maupun pihak-pihak yang punya urusan utang-piutang, dan sebagainya.
Dalam Hadits sahih "mutafaaq ulaih" (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim) tersebut, tersirat perintah Rasulullah SAW., agar menyegerakan berbuat kebaikan dan kebajikan. Jangan menunggu kerakusan dan ketamakan menguasai kita.
Sebab, setelah tumbuh watak rakus dan tamak, selalu hanya ingin mengeduk dan menumpuk harta. Enggan mengeluarkan sedikit pun tanpa imbalan nyata dan langsung pada saat itu juga. Jangan menunggu rasa takut miskin tumbuh subur sehingga untuk mengeluarkan sedikit sedekah saja, harus berpikir berlarut-larut karena khawatir mengganggu jumlah tabungan, deposito, dan sejenisnya, yang dianggap benteng pertahanan agar tidak jatuh miskin.
Jangan menunggu terwujudnya khayalan kaya raya sehingga semua potensi dan perhatian terpusat pada upaya mengejar kekayaan yang berupa fatamorgana. Tentu saja, tatkala masih sehat walafiat, karena kalau menunggu sakit belum tentu mampu mengulurkan tangan untuk kebaikan. Bahkan, mungkin tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh telah lemah tak berdaya.
Maka, cepatlah berbuat kebaikan. Bersedekah, berinfaq, berzakat, wakaf, jariyah, dan kebaikan lain dengan menyisihkan, sebagian harta benda yang kita miliki. Janganlah kita termasuk ke dalam kelompok orang yang menyukai para pembuat kebaikan tetapi kita sendiri tidak termasuk di dalamnya. "Yuhibbus shalihina wa laisa minhu" (Hadits Qudsi). ***
[Ditulis oleh H. USEP ROMLI H.M. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Sabtu (Pahing) 27 Agustus 2011 / 27 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
Sikap semacam itu mendapat sindirian dari Allah SWT.,
"Wa yuthawwalul amala wa yarjul akhirata bi ghairi amalin." Membubung melamun dan mengharap kenikmatan hidup di akhirat tanpa amal. (Hadits Qudsi, dikutip dari kitab Al Mawa'idzfil Ahaditsil Qudsiyah susunan Imam Ghazali)
Padahal, berbuat kebaikan -termasuk sedekah- lebih utama ketika badan sehat. Jangan terlambat dinanti-nanti. Apalagi, jika nyawa sudah tersekat di tenggorokan.
Rasulullah SAW. kedatangan seorang laki-laki yang bertanya sedekah apa yang paling besar pahalanya ? Jawab Rasulullah SAW.,
"an tashaddaqa wa anta shahihun syahihun." Ketika engkau benar-benar sehat, juga pada saat ketamakan, takut miskin, dan ambisi kaya raya menguasai segenap perasaan dan pikiran. "La tamhilu hatta idza balaghatil hulkumu." Jangan menunda-nunda hingga (nyawa) telah sampai tenggorokan, kata Rasulullah SAW. seraya menegaskan pada saat sakaratul maut mulai beraksi, masih saja orang berkata, ingin menyedekahkan hartanya untuk Fulan itu sekian, untuk Fulan ini sekian. "wa qad kana li fulanin."
Padahal, harta yang ingin dijadikan sarana kebaikan itu sudah menjadi milik si Fulan. Artinya, sudah berada di tangan orang lain, baik ahli warisnya maupun pihak-pihak yang punya urusan utang-piutang, dan sebagainya.
Dalam Hadits sahih "mutafaaq ulaih" (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim) tersebut, tersirat perintah Rasulullah SAW., agar menyegerakan berbuat kebaikan dan kebajikan. Jangan menunggu kerakusan dan ketamakan menguasai kita.
Sebab, setelah tumbuh watak rakus dan tamak, selalu hanya ingin mengeduk dan menumpuk harta. Enggan mengeluarkan sedikit pun tanpa imbalan nyata dan langsung pada saat itu juga. Jangan menunggu rasa takut miskin tumbuh subur sehingga untuk mengeluarkan sedikit sedekah saja, harus berpikir berlarut-larut karena khawatir mengganggu jumlah tabungan, deposito, dan sejenisnya, yang dianggap benteng pertahanan agar tidak jatuh miskin.
Jangan menunggu terwujudnya khayalan kaya raya sehingga semua potensi dan perhatian terpusat pada upaya mengejar kekayaan yang berupa fatamorgana. Tentu saja, tatkala masih sehat walafiat, karena kalau menunggu sakit belum tentu mampu mengulurkan tangan untuk kebaikan. Bahkan, mungkin tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh telah lemah tak berdaya.
Maka, cepatlah berbuat kebaikan. Bersedekah, berinfaq, berzakat, wakaf, jariyah, dan kebaikan lain dengan menyisihkan, sebagian harta benda yang kita miliki. Janganlah kita termasuk ke dalam kelompok orang yang menyukai para pembuat kebaikan tetapi kita sendiri tidak termasuk di dalamnya. "Yuhibbus shalihina wa laisa minhu" (Hadits Qudsi). ***
[Ditulis oleh H. USEP ROMLI H.M. Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Sabtu (Pahing) 27 Agustus 2011 / 27 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
0 comments:
Post a Comment