Ketika itu Rasulullah SAW. masuk masjid, di sana terdapat dua majelis sahabat yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Yang pertama, giat memahami seluk-beluk agama (tafaqquh fiddin). Sementara yang lainnya asyik berzikir dan berdoa.
Ketika ditanyakan mana gerangan majelis terbaik, Rasulullah SAW. menjawab, "Semuanya dalam kemuliaan. Namun, aku diutus untuk memberikan pengajaran." Setelah mengatakan demikian, Rasulullah SAW. lantas bergabung dengan kelompok yang disebut terdahulu.
Dalam riwayat lain dikatakan, seorang Anshar datang menghadap Rasulullah SAW. Ia bertanya, "Ya Rasulullah ! Jika dalam waktu yang berbarengan aku dihadapkan pada dua kewajiban agama, misalnya keharusan mengurus jenazah dan menghadiri majelis ilmu. Mana yang mesli aku utamakan ?" Beliau menjawab, "Jika untuk memelihara jenazah sudah ada petugasnya, hadir di majelis ilmu lebih baik bagimu daripada seribu kali mengurus jenazah. Bahkan, yang demikian itu lebih baik daripada seribu kali menengok orang sakit, seribu rakaat salat malam, seribu hari puasa sunat, seribu dirham yang disedekahkan kepada orang miskin, seribu kali haji di luar yang wajib, dan seterusnya..." Ketika itu Rasulullah SAW. masih menyebut beberapa bentuk kebajikan lain dengan kelipatan seribu.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan. Islam sangat apresiatif terhadap ilmu, aktivitas keilmuan, dan majelis yang digunakan untuk kegiatan intelektual itu. Al-Qur'an sebagai rujukan utama Islam mengulang kita al-'ilmu dan derivasinya hingga 780 kali bahkan. Kitab Langit yang satu ini sejak awal diturunkan, telah menyebut secara eksplisit tentang signifikansi membaca, pena dan pengajaran. Bukankah yang demikian itu merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa Islam sangat menghargai karya dan kekayaan intelektual.
Oleh karena itu, tidak heran Al-Qur'an menempatkan golongan berilmu pada posisi sangat terhormat
Pun perlu dicatat, derajat itu bukan hak monopoli ilmuwan agama, tetapi juga hak para pakar di bidang hidrologi, biologi, antropologi, sosiologi, dan lainnya. Sudah barang tentu dengan syarat, kepakaran masing-masing mampu menangkap tanda kebesaran Allah SWT. sehingga mendorong dirinya untuk berendah hati dan sujud di hadapan-Nya,
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah kenyataan, Kitab Samawi yang satu ini lelah mengemukakan aturan bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam sebuah majelis ilmu. Di antaranya seseorang harus memberikan kelapangan tempat bagi mereka yang datang. Bahkan, jika perlu berdiri untuk menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain. Hal itu tercantum secara eksplisit dalam QS. Al- Mujadilah : 11.
Dan menurut satu keterangan, ayat itu diturunkan berkaitan dengan peristiwa ketika itu Rasulullah SAW. berada di majelis yang tidak terlalu lapang. Adalah sebuah kelaziman kalau dalam suatu majelis, Rasulullah SAW. suka memberikan tempat istimewa kepada mereka yang disebut veteran Perang Badar. Perlakuan khusus itu bukan diskriminasi, tetapi penghargaan atas saham yang mereka berikan dalam peristiwa yang menentukan itu.
Kebetulan waktu itu majelis sedang berlangsung. Beberapa orang dari mereka baru tiba. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW., lalu kepada semua yang hadir. Namun, patut disayangkan mereka yang sudah duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser seinci pun dari tempatnya. Maka untuk beberapa saat, para veteran itu terus berdiri.
Menyaksikan hal itu, Rasulullah SAW. lantas memerintahkan mereka yang tidak ikut andil dalam Perang Badar pindah ke tempat lain. agar ahli Badar dapat duduk di samping beliau. Tampaknya, titah beliau itu tidak berkenan di hati mereka sehingga seraya menggerutu mereka berkata, "Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi buktinya tidak !" Kritik mereka terdengar oleh Rasulullah SAW. sehingga beliau bersabda, "Allah SWT. merahmati siapa saja yang memberikan kelapangan buat saudaranya." Atas peristiwa itu, turunlah ayat kesebelas surah al-Mujadilah.
Keengganan berpindah tempat untuk memberikannya kepada orang lain. biasanya bersumber dari kepongahan karena mengklaim dirinya sebagai orang terhormat. Oleh karena itu, sepanjang manusia jenis ini masih belum sirna dari muka bumi. selama itu pula kasus itu akan terus berulang dari waktu ke waktu.
Namun, mereka yang hidup pada kurun kenabian lebih beruntung. Sebab, manakala dalam bermasyarakat terjadi penyimpangan dari standar moral yang tinggi, teguran dari langit segera turun. Atau Rasulullah SAW. akan meluruskan secepatnya, baik dengan kata- kata bijak maupun lewat keteladanan.
Berikut ini kisah teladan nyata dari Rasulullah SAW. pada saat para sahabat tidak hirau pada etika majelis. Ketika itu Abdullah al-Bajaliy datang terlambat, sedangkan majelis Rasulullah SAW. sudah padat ditempati oleh para sahabat. Abdullah mengucapkan salam. Setelah itu dia mencari tempat duduk, tetapi sayang ia tidak memperolehnya. Lagi-lagi faktor penyebabnya adalah sama.
Mereka yang duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser, apalagi berpindah tempat. Lama juga hal itu berlangsung sampai Rasululllah SAW. turun tangan. Waktu itu beliau melepas gamis yang dikenakannya, lalu melipat dengan tangannya yang mulia. Setelah itu Rasulullah SAW. turun dari mimbar dan berjalan menuju Abdullah al-Bajaliy.
Begitu hampir sampai pada orang yang dituju, beliau bersabda. "Wahai Abdullah ! Ini gamisku. Jadikanlah dia sebagai alas dudukmu !" Keruan saja Abdullah sangat terharu mendapat perlakuan khusus dari orang mulia seperti itu. Betapa tidak ! Bukankah untuknya Rasulullah SAW. rela melepas gamis lalu melipatnya. Dan setelah itu beliau turun dari mimbar dan menyerahkannya untuk dijadikan alas duduk.
Sungguh tak terbayangkan jika hal itu terjadi pada zaman sekarang. Yang menjadi pertanyaan. maukah Abdullah duduk di atas gamis Rasulullah SAW. ? Alih-alih justru Abdullah menciumi sepuas-puasnya, seraya tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Dan dengan gemetar penuh haru. Abdullah berkata, "Ya Rasulullah ! Semoga Allah memuliakan tuan. sebagaimana tuan telah memuliakanku !"
Keterangan itu tidak sekadar mengungkapkan betapa besar perhatian Rasulullah SAW. terhadap mereka, karena satu dan lain hal tidak dihiraukan. Namun, hal itu juga menjelaskan, berlapang-lapang dalam majelis merupakan sebuah keniscayaan.***
[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 26 Agustus 2011 / 26 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
Ketika ditanyakan mana gerangan majelis terbaik, Rasulullah SAW. menjawab, "Semuanya dalam kemuliaan. Namun, aku diutus untuk memberikan pengajaran." Setelah mengatakan demikian, Rasulullah SAW. lantas bergabung dengan kelompok yang disebut terdahulu.
Dalam riwayat lain dikatakan, seorang Anshar datang menghadap Rasulullah SAW. Ia bertanya, "Ya Rasulullah ! Jika dalam waktu yang berbarengan aku dihadapkan pada dua kewajiban agama, misalnya keharusan mengurus jenazah dan menghadiri majelis ilmu. Mana yang mesli aku utamakan ?" Beliau menjawab, "Jika untuk memelihara jenazah sudah ada petugasnya, hadir di majelis ilmu lebih baik bagimu daripada seribu kali mengurus jenazah. Bahkan, yang demikian itu lebih baik daripada seribu kali menengok orang sakit, seribu rakaat salat malam, seribu hari puasa sunat, seribu dirham yang disedekahkan kepada orang miskin, seribu kali haji di luar yang wajib, dan seterusnya..." Ketika itu Rasulullah SAW. masih menyebut beberapa bentuk kebajikan lain dengan kelipatan seribu.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan. Islam sangat apresiatif terhadap ilmu, aktivitas keilmuan, dan majelis yang digunakan untuk kegiatan intelektual itu. Al-Qur'an sebagai rujukan utama Islam mengulang kita al-'ilmu dan derivasinya hingga 780 kali bahkan. Kitab Langit yang satu ini sejak awal diturunkan, telah menyebut secara eksplisit tentang signifikansi membaca, pena dan pengajaran. Bukankah yang demikian itu merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa Islam sangat menghargai karya dan kekayaan intelektual.
Oleh karena itu, tidak heran Al-Qur'an menempatkan golongan berilmu pada posisi sangat terhormat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah : 11)
Pun perlu dicatat, derajat itu bukan hak monopoli ilmuwan agama, tetapi juga hak para pakar di bidang hidrologi, biologi, antropologi, sosiologi, dan lainnya. Sudah barang tentu dengan syarat, kepakaran masing-masing mampu menangkap tanda kebesaran Allah SWT. sehingga mendorong dirinya untuk berendah hati dan sujud di hadapan-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir : 28)
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah kenyataan, Kitab Samawi yang satu ini lelah mengemukakan aturan bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam sebuah majelis ilmu. Di antaranya seseorang harus memberikan kelapangan tempat bagi mereka yang datang. Bahkan, jika perlu berdiri untuk menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain. Hal itu tercantum secara eksplisit dalam QS. Al- Mujadilah : 11.
Dan menurut satu keterangan, ayat itu diturunkan berkaitan dengan peristiwa ketika itu Rasulullah SAW. berada di majelis yang tidak terlalu lapang. Adalah sebuah kelaziman kalau dalam suatu majelis, Rasulullah SAW. suka memberikan tempat istimewa kepada mereka yang disebut veteran Perang Badar. Perlakuan khusus itu bukan diskriminasi, tetapi penghargaan atas saham yang mereka berikan dalam peristiwa yang menentukan itu.
Kebetulan waktu itu majelis sedang berlangsung. Beberapa orang dari mereka baru tiba. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW., lalu kepada semua yang hadir. Namun, patut disayangkan mereka yang sudah duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser seinci pun dari tempatnya. Maka untuk beberapa saat, para veteran itu terus berdiri.
Menyaksikan hal itu, Rasulullah SAW. lantas memerintahkan mereka yang tidak ikut andil dalam Perang Badar pindah ke tempat lain. agar ahli Badar dapat duduk di samping beliau. Tampaknya, titah beliau itu tidak berkenan di hati mereka sehingga seraya menggerutu mereka berkata, "Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi buktinya tidak !" Kritik mereka terdengar oleh Rasulullah SAW. sehingga beliau bersabda, "Allah SWT. merahmati siapa saja yang memberikan kelapangan buat saudaranya." Atas peristiwa itu, turunlah ayat kesebelas surah al-Mujadilah.
Keengganan berpindah tempat untuk memberikannya kepada orang lain. biasanya bersumber dari kepongahan karena mengklaim dirinya sebagai orang terhormat. Oleh karena itu, sepanjang manusia jenis ini masih belum sirna dari muka bumi. selama itu pula kasus itu akan terus berulang dari waktu ke waktu.
Namun, mereka yang hidup pada kurun kenabian lebih beruntung. Sebab, manakala dalam bermasyarakat terjadi penyimpangan dari standar moral yang tinggi, teguran dari langit segera turun. Atau Rasulullah SAW. akan meluruskan secepatnya, baik dengan kata- kata bijak maupun lewat keteladanan.
Berikut ini kisah teladan nyata dari Rasulullah SAW. pada saat para sahabat tidak hirau pada etika majelis. Ketika itu Abdullah al-Bajaliy datang terlambat, sedangkan majelis Rasulullah SAW. sudah padat ditempati oleh para sahabat. Abdullah mengucapkan salam. Setelah itu dia mencari tempat duduk, tetapi sayang ia tidak memperolehnya. Lagi-lagi faktor penyebabnya adalah sama.
Mereka yang duduk terlebih dahulu tidak mau bergeser, apalagi berpindah tempat. Lama juga hal itu berlangsung sampai Rasululllah SAW. turun tangan. Waktu itu beliau melepas gamis yang dikenakannya, lalu melipat dengan tangannya yang mulia. Setelah itu Rasulullah SAW. turun dari mimbar dan berjalan menuju Abdullah al-Bajaliy.
Begitu hampir sampai pada orang yang dituju, beliau bersabda. "Wahai Abdullah ! Ini gamisku. Jadikanlah dia sebagai alas dudukmu !" Keruan saja Abdullah sangat terharu mendapat perlakuan khusus dari orang mulia seperti itu. Betapa tidak ! Bukankah untuknya Rasulullah SAW. rela melepas gamis lalu melipatnya. Dan setelah itu beliau turun dari mimbar dan menyerahkannya untuk dijadikan alas duduk.
Sungguh tak terbayangkan jika hal itu terjadi pada zaman sekarang. Yang menjadi pertanyaan. maukah Abdullah duduk di atas gamis Rasulullah SAW. ? Alih-alih justru Abdullah menciumi sepuas-puasnya, seraya tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Dan dengan gemetar penuh haru. Abdullah berkata, "Ya Rasulullah ! Semoga Allah memuliakan tuan. sebagaimana tuan telah memuliakanku !"
Keterangan itu tidak sekadar mengungkapkan betapa besar perhatian Rasulullah SAW. terhadap mereka, karena satu dan lain hal tidak dihiraukan. Namun, hal itu juga menjelaskan, berlapang-lapang dalam majelis merupakan sebuah keniscayaan.***
[Ditulis oleh A. HAJAR SANUSI Tulisan disalin dari Harian Umum "PIKIRAN RAKYAT" Edisi Jumat (Manis) 26 Agustus 2011 / 26 Ramadan 1432 H. pada Kolom "KISAH RAMADAN"]
by
0 comments:
Post a Comment