Mendadak saya ingat anak-anak Somalia yang hari ini dirajam kelaparan. Tulang iganya yang nyaris mencuat, menembus kulit tipis, sungguh meremukkan hati. Sebagian bertahan hidup, tapi juga ribuan akhirnya meregang nyawa. Terik matahari yang membakar, ditimpali tanah tandus berdebu, melengkapi betapa ekstrim kehidupan bocah-bocah Somalia. Jika bayangan itu terlintas, sungguh agak berat tenggorokan menelan sesuap nasi.
Tapi, Somalia itu amat jauh di benua Afrika. Kita, sulit menjangkaunya andai ingin berbagi sepiring nasi, Namun tragedi kelaparan yang mengerikan itu, tetap membawa pesan kemanusiaan pada umat manusia di berbagai belahan bumi. Yakni, bersyukurlah dengan apa yang terhidang hari ini di meja makan. Meski hanya nasi putih dengan garam.
Jerit kelaparan bocah Somalia, juga perlu menyadarkan diri agar hidup tidak rakus, serakah, dan selalu kurang. Sebuah bangsa juga perlu sadar, agar hati-hati mengelola kekayaan negara. Pemimpin, wakil rakyat, dan pemangku kebijakan, juga perlu sadar diri, bahwa nestapa bocah Somalia, tak muskil terjadi di Indonesia yang subur dan hijau ini. Jika tata kelolanya makin hancur, korupsi terus membudaya, dan penguasa berkhianat pada amanat rakyat. Bukankah dalam sejarah, bangsa ini juga pernah dirajam paceklik yang menciptakan kelaparan di seantero negeri.
Air mata bocah Somalia, juga menasehati agar nurani ini hidup. Panca indera jangan dimatikan agar tak ada anak tetangga kita yang kelaparan. Kita bisa belajar pada rumput di halaman rumah, yang selalu dipangkas tiap daunnya lebat. Rumput itu, tak akan mati karena dipotong, tapi ia tumbuh makin subur. Demikianlah sejatinya, makna berbagi dan memberi pada orang lain atas harta yang kita miliki. Seorang bijak berkelakar, uang seribu tak akan bikin melarat karena disedekahkan, juga tak akan menambah kaya karena disimpan.
Sudah menjadi bagian dari sunatullah, di dunia ini selalu ada kesenjangan. Kemiskinan itu ada, pada hakikatnya karena ada orang kaya, dan diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Mereka terlihat baik dan buruk amalnya, dari caranya memperlakukan fakir dan miskin. Niscaya tidak akan ada arti dan maknanya, harta melimpah jika tidak ada orang-orang miskin.
Dari sudut keimanan, orang kaya memandang saudara-saudara mereka yang tidak beruntung sebagai berkah, ladang baginya untuk menumpuk amal shaleh. Bukan sebaliknya, fakir-miskin dipandang sebagai lalat-lalat pengganggu.
Sikap yang indah ini, terlihat dalam pola interaksi Rasulullah dengan para sahabatnya yang mayoritas bekas budak, kalangan gembel yang lusuh penampilannya dan tidak nyaman aromanya.
Ketika Nabi masuk ke majelis memilih duduk dalam kelompok orang miskin. Kerapkali Rasulullah berkata,
Namun, Rasulullah juga telah bersabda,
Saat ini semua umat Muslim tengah mendaras makna puasa Ramadhan. Dalam kelaparan seharian banyak hikmah dipetik agar kualitas hidup ke depan lebih baik, berkah, dan diwarnai nilai-nilai keberpihakan pada kaum lemah. Lapar sehari belum sebanding dengan laparnya bocah-bocah Somalia yang berbulan-bulan tanpa asupan hidup. Hingga tampaklah kering tulang iganya dan lemah tubuhnya, kemudian maut membayanginya.
Kita bisa mengasah nilai-nilai puasa Ramadhan dengan belajar pada tragedi-tragedi kemanusiaan. Agar hidup lebih syukur, tidak egois, dan jauh dari budaya pelit.
Wallahu'alam.***
[Ditulis oleh SUNARYO ADHIATMOKO, tulisan disalin dari Harian Umum "KORAN TEMPO" Edisi No. 3610 - Kamis, 4 Agustus 2011]
by
Tapi, Somalia itu amat jauh di benua Afrika. Kita, sulit menjangkaunya andai ingin berbagi sepiring nasi, Namun tragedi kelaparan yang mengerikan itu, tetap membawa pesan kemanusiaan pada umat manusia di berbagai belahan bumi. Yakni, bersyukurlah dengan apa yang terhidang hari ini di meja makan. Meski hanya nasi putih dengan garam.
Jerit kelaparan bocah Somalia, juga perlu menyadarkan diri agar hidup tidak rakus, serakah, dan selalu kurang. Sebuah bangsa juga perlu sadar, agar hati-hati mengelola kekayaan negara. Pemimpin, wakil rakyat, dan pemangku kebijakan, juga perlu sadar diri, bahwa nestapa bocah Somalia, tak muskil terjadi di Indonesia yang subur dan hijau ini. Jika tata kelolanya makin hancur, korupsi terus membudaya, dan penguasa berkhianat pada amanat rakyat. Bukankah dalam sejarah, bangsa ini juga pernah dirajam paceklik yang menciptakan kelaparan di seantero negeri.
Air mata bocah Somalia, juga menasehati agar nurani ini hidup. Panca indera jangan dimatikan agar tak ada anak tetangga kita yang kelaparan. Kita bisa belajar pada rumput di halaman rumah, yang selalu dipangkas tiap daunnya lebat. Rumput itu, tak akan mati karena dipotong, tapi ia tumbuh makin subur. Demikianlah sejatinya, makna berbagi dan memberi pada orang lain atas harta yang kita miliki. Seorang bijak berkelakar, uang seribu tak akan bikin melarat karena disedekahkan, juga tak akan menambah kaya karena disimpan.
Sudah menjadi bagian dari sunatullah, di dunia ini selalu ada kesenjangan. Kemiskinan itu ada, pada hakikatnya karena ada orang kaya, dan diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Mereka terlihat baik dan buruk amalnya, dari caranya memperlakukan fakir dan miskin. Niscaya tidak akan ada arti dan maknanya, harta melimpah jika tidak ada orang-orang miskin.
Dari sudut keimanan, orang kaya memandang saudara-saudara mereka yang tidak beruntung sebagai berkah, ladang baginya untuk menumpuk amal shaleh. Bukan sebaliknya, fakir-miskin dipandang sebagai lalat-lalat pengganggu.
Sikap yang indah ini, terlihat dalam pola interaksi Rasulullah dengan para sahabatnya yang mayoritas bekas budak, kalangan gembel yang lusuh penampilannya dan tidak nyaman aromanya.
Ketika Nabi masuk ke majelis memilih duduk dalam kelompok orang miskin. Kerapkali Rasulullah berkata,
Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka, Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.
Namun, Rasulullah juga telah bersabda,
"Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berjalan ke sana sini meminta-minta kepada manusia, kemudian diberikan dengan sesuap dua makanan dan sebiji dua buah kurma." Para Sahabat bertanya, "Kalau begitu siapakah orang miskin yang sebenarnya wahai Rasulullah ? Nabi bersabda, "Orang yang tidak mendapati kesenangan yang mencukupi buatnya, tetapi mereka tidak tahu karena kesabaran dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain, dia akan diberikan sedekah tanpa dia meminta dari orang lain." (HR. Bukhari, Muslim, Nasai)
Saat ini semua umat Muslim tengah mendaras makna puasa Ramadhan. Dalam kelaparan seharian banyak hikmah dipetik agar kualitas hidup ke depan lebih baik, berkah, dan diwarnai nilai-nilai keberpihakan pada kaum lemah. Lapar sehari belum sebanding dengan laparnya bocah-bocah Somalia yang berbulan-bulan tanpa asupan hidup. Hingga tampaklah kering tulang iganya dan lemah tubuhnya, kemudian maut membayanginya.
Kita bisa mengasah nilai-nilai puasa Ramadhan dengan belajar pada tragedi-tragedi kemanusiaan. Agar hidup lebih syukur, tidak egois, dan jauh dari budaya pelit.
Wallahu'alam.***
[Ditulis oleh SUNARYO ADHIATMOKO, tulisan disalin dari Harian Umum "KORAN TEMPO" Edisi No. 3610 - Kamis, 4 Agustus 2011]
by
0 comments:
Post a Comment